8/30

141 33 1
                                    

Butiran es jatuh menghujani kota dengan lembut. Tidak lebat, tetapi juga tak tampak bahwa salju itu akan segera berhenti. Meski begitu, kelabu suram yang mewarnai langit tak sedikit pun tampak mengurangi kegembiraan orang-orang yang memenuhi jalan kota, menyambut malam natal.

Seorang gadis kecil melangkah pelan menyusuri jalan kota, menembus keramaian. Mengabaikan dinginnya udara di bulan Desember yang mungkin akan membuatnya mati beku. Sepasang netranya menatap sayu, menghampiri satu demi satu orang yang melewatinya dengan sekeranjang korek api yang ia bawa.

"Nyonya, maukah kau membeli korek apiku?" tanyanya pada seorang nyonya bangsawan yang memakai mantel bulu hangat. Wanita itu melewatinya begitu saja.

"Tuan, apakah kau ingin membeli korek api?" Ia bertanya kepada orang lain, yang lagi-lagi berlalu begitu saja seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari.

Bugh!

Tubuhnya yang kecil terhuyung ketika seseorang menabraknya, gadis itu terjerembab ke jalan, salah satu dari sepasang sepatu kebesaran yang sama sekali tidak pas di kakinya terlempar entah ke mana.

Gadis itu mulai merasa sesak. Ia nyaris saja terisak, tetapi segera ditahannya dan lantas ia berdiri. Ia tahu dirinya tak boleh membuang-buang waktu. Belum satu pun korek apinya terjual hari ini, jika ia pulang tanpa membawa apa pun, tak bisa ia bayangkan siksaan seperti apa lagi yang akan ia dapatkan dari ayahnya yang pemabuk itu di rumah nanti.

Kini ia menapaki jalan bersalju tanpa mengenakan alas kaki. Dapat dirasakannya ujung-ujung jarinya yang ngilu karena membeku. Perutnya begitu perih karena tidak diisi apa pun sejak kemarin, pakaian yang ada di tubuhnya sama sekali tidak berguna untuk menghalau dingin. Merasa tak sanggup berjalan lagi, akhirnya gadis itu memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Tubuhnya bersandar lemah pada salah satu sisi tembok, celah di antara dua bangunan. Sepasang lengan kurusnya yang gemetar memeluk kedua lutut, coba menghalau rasa dingin yang semakin menusuk. Samar-samar dari balik jendela tembok yang disandarinya, ia bisa mendengar suara tawa keluarga kecil yang tengah merayakan malam natal. Air matanya kembali nyaris jatuh.

"Seandainya Nenek masih hidup, pasti tidak akan seperti ini," gumamnya lirih.

Malam semakin tinggi. Hawa dingin yang semakin menusuk membuat sekujur tubuh itu semakin menggigil. Diliriknya keranjang korek api yang sedari tadi ia bawa. Terlintas di pikirannya, mungkin dengan membakar salah satu korek api itu, ia akan merasa lebih hangat. Namun bayangan ayahnya yang mungkin saja akan mengamuk membuatnya mengurungkan niat.

Meski begitu, akhirnya rasa takut itu terkalahkan oleh tubuh ringkihnya yang tidak lagi sanggup. Diambilnya sebatang korek api. Digoreskannya ujung korek itu ke tembok dan cahaya apinya mulai menyala.

Tiba-tiba saja, sebuah cahaya yang begitu menyilaukan bersinar hingga gadis kecil itu memejamkan kedua matanya, dan secara ajaib, kini di depan matanya ia melihat perapian dengan nyala api yang begitu hangat. Namun baru saja ia hendak menjulurkan tangannya untuk menghangatkan diri, bayangan itu sirna bersama dengan padamnya api dari koreknya.

Si gadis kecil memutuskan untuk membakar satu lagi. Kali ini, kembali ia mendapati pemandangan yang begitu mengagumkan. Sebuah ruangan yang didekorasi begitu indah dengan pohon natal dan meja besar yang di atasnya terhidang berbagai macam makanan. Ia tak pernah melihat makanan sebanyak dan semewah itu sebelumnya. Namun lagi-lagi, semua itu sirna bersamaan dengan padamnya cahaya dari korek apinya.

Ia menengadah menatap langit, secara tak sengaja mendapati penampakan sebuah bintang jatuh. Tatapan nanarnya menerawang. Terbesit di pikirannya sesuatu yang pernah diceritakan oleh neneknya dahulu.

Bintang jatuh adalah sebuah pertanda bahwa ada seseorang yang akan meninggalkan dunia.

Kembali terlintas di pikirannya, ayahnya pasti akan marah jika mendapatinya menghabiskan barang dagangan, tetapi kemudian hal itu kembali dikalahkan oleh tubuhnya yang tak sanggup menahan dingin.

Untuk ketiga kalinya, ia kembali menyalakan korek api. Kali ini, tidak ada perapian hangat, tidak ada juga meja dengan berbagai hidangan. Namun di hadapannya, tepat di depan matanya, ia melihat sosok neneknya yang tersenyum begitu lembut.

"N-nenek ...?" gumamnya. Tangis gadis itu nyaris pecah, tetapi kemudian ketakutan segera menguasai dirinya.

Ia begitu takut jika neneknya akan menghilang begitu nyala apinya padam. Sama seperti perapian dan meja makan yang tadi dilihatnya, sehingga dengan kalap ia segera mengambil segenggam korek api dan membakarnya bersamaan.

Cahaya yang begitu menyilaukan membuat gadis itu kembali memejamkan mata. Apa yang dilihatnya setelah itu benar-benar hal terindah yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Sebuah taman yang penuh bunga-bunga, dan nenek! Neneknya berdiri di hadapannya, menggenggam sepasang telapak tangannya dan kini ia tak lagi merasakan dingin.

"Nenek, kumohon, bawalah aku bersamamu," pintanya.

Sang Nenek tersenyum begitu lembut. "Tentu saja, Nenek datang kemari untuk menjemputmu."

Gadis kecil itu begitu bahagia mendengarnya. Tubuhnya kini terasa seringan kapas. Ia tak lagi merasakan lapar dan dingin. Telapak tangan Nenek yang hangat menuntunnya pergi dari tempat itu, ke tempat yang jauh lebih indah.

Keesokan paginya, warga kota menemukan tubuh gadis kecil yang meringkuk di antara celah bangunan. Telapak tangannya sedikit terbakar, tetapi wajahnya yang dingin membeku tersenyum begitu damai. Seolah telah terlepas dari semua penderitaan yang ia rasakan selama ini.

End

Tema: Retelling dongeng.

The Little Match Girl - Hans Christian Andersen.

Ephemeral: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt