30/30

225 33 1
                                    

Sepasang netranya menatap sayu ke luar jendela, memandangi garis langit dalam gradasi merah-jingga. Dalam bisu, ia bercerita kepada senja. Perihal asa yang sedikit demi sedikit hilang terkikis masa, perihal raga yang perlahan semakin rapuh dimakan usia.

Ia kini tak lagi muda. Tubuh rentanya hanya bisa terbaring pasrah di atas sebuah dipan tua. Menanti ajal yang akan menjemputnya kapan saja, meski ia sendiri masih kerap bertanya-tanya ... siapkah ia jika waktunya tiba?

Sesuatu yang datang mendekat mengalihkan perhatiannya. Seekor kucing yang kini menyamankan diri di atas dada, dengkurannya membuat senyum tipis tergaris di sela napas yang tinggal satu-dua.

Ialah satu-satunya makhluk yang setia menemaninya menghabiskan sisa usia, di kala sanak dan keluarga satu per satu berpaling darinya.

Ia tak akan menyalahkan siapa-siapa, sebab ia cukup tahu diri perihal siapa yang sesungguhnya berdosa. Di antara sisa-sisa memori yang telah terkikis masa, ia mengingat dengan jelas bagaimana dahulu ia mengejar harta hingga luput memberi cinta kasih untuk keluarga. Ia ingat bagaimana sang istri meninggalkannya bersama orang lain di usia empat puluh tiga. Ia ingat bagaimana putra satu-satunya jatuh dalam narkoba hingga meregang nyawa.

Ia ingat semuanya.

Dan ia cukup tahu diri untuk tak menuntut Tuhan ketika tak lagi ada yang menangisinya di detik-detik terakhir ia bisa menghirup udara.

Meski begitu, tak ayal setitik air merembes dari sudut matanya. Bagaimanapun, penyesalan itu tentu ada meski ia telah rela menerima yang sepantasnya ia terima.

"Hanya kamu yang aku punya," katanya lirih pada satu-satunya makhluk yang masih setia di sisinya.

Seekor kucing yang masih dengan nyaman bergelung di atas tubuhnya, yang mungkin saja dengan waspada kini tengah mendengarkan sisa detak jantung pemiliknya yang tinggal satu-dua, khawatir kalau saja organ itu berhenti tiba-tiba.

Namun mengabaikan bagaimana ketakutannya, agaknya kematian tak lagi ingin menunggu lebih lama.

Napas si Pria Tua tersengal kala Malaikat Kematian mengayunkan sabit maut padanya. Mengakhiri waktunya, mencabut paksa ruhnya dari raga beserta seluruh penyesalan yang tersisa. Menyisakan seonggok tubuh tak bernyawa tanpa seorang pun menangisinya.

Hei, kamu yang di sana, kamu yang sedang membaca, tidakkah kau ingin menghindari penyesalan yang sama terjadi padamu juga?

Jika begitu adanya, maka biarkan aku bertanya.

Di sisa hidupmu yang tak kautahu kapan akhirnya, di usiamu yang bisa habis kapan saja, sudahkah kau memberi cukup cinta untuk orang-orang yang kau anggap berharga?

End

Tema: Mengakhiri sesuatu.

Catatan penulis:

Akhirnya selesai juga iniii aaaaaahk. T^T //nangis

Yah walopun akhirnya tetap bolong di sana sini gegara kondisi kesehatan, kesibukan, dll.

Sumpah yang kutulis di sini, bisa dihitung jari tulisan warasnya, sisanya ngawur sengawur-ngawurnya. Kuingin mengubur diri aja. Wkakakakak.

Btw, terima kasih banyak buat kalian yang sudah menemani Ceri struggling DWC selama sebulan ini. Kusayang kalian. T^T //peluk satu-satu.

Sampai jumpa di lain waktu~

Best regards, Cherry.

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Nov 30, 2019 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Ephemeral: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu