Pelan-pelan, Abang

50.2K 2.6K 81
                                    


Jangan lupa vote

...

Menyapa pagi dengan secangkir kopi dan sebatang rokok, adalah kebiasaan Banyu sejak dulu.

Suasana pagi berkabut, juga menjadi pemandangan biasa untuk dipandang.

Ciwedey, kecamatan yang terletak di sebelah selatan kota Bandung, memiliki iklim teduh. Cocok bagi mereka yang mengayunkan langkah ke desa itu untuk melepas penat setelah sepekan bergelut dengan rutinitas di ibu kota.

Bagi Banyu, laki-laki yang lahir 30 tahun silam, sudah merasa nyaman dengan tempat tinggalnya. Dari kecil ia sudah menyatu dengan tanah kelahirannya. Pernah meninggalkan kampung halamannya, demi menempuh pendidikan di Jakarta atas permintaan sang ibu.

Lima tahun kuliah di Jakarta, tidak terhitung berapa kali ia pulang. Hingga Farida terheran-heran. Anak orang lain kalau sudah ke Jakarta lupa kampung halaman, lain hal dengan putranya.

"Ditunggu Bapak sarapan."

Kepala Banyu menoleh, ke arah pintu.  Sesaat ia berdeham, dan bangkit dari kursi panjang di balkon kamarnya mengikuti langkah sang ibu.

Di meja makan, sudah ada pak Darma. Kebiasaan yang sudah menjadi rutinitas puluhan tahun silam, setiap jam makan mereka akan berkumpul.

"Banyak kerjaan di Bengkel?"

"Lumayan, Pak."

Darma mengangguk, dua hari ini ia tidak berkunjung ke sana karena sedang sibuk di Balai Desa.

Biasanya ia berkunjung setiap habis dzuhur. Tidak untuk dua hari ini.

Walaupun usaha bengkel tidak ditekuni silsilah keluarganya juga istrinya, Darma bangga, karena Banyu membuktikan padanya. Terbukti, bengkel otomotif yang sudah berdiri hampir sepuluh tahun berhasil di tangan putranya.

"Anak-anak sehat semua?"

Darma sudah menganggap para pekerja di bengkel putrinya sebagai bagian dari keluarga.

"Sehat."

Acara sarapan keluarga Darma, diselingi kedatangan Ara. Tetangga sebelah rumah mereka.

"Sarapan Ara."

Gadis itu tersenyum seperti biasa. Ia menarik bangku di samping Farida dan bersiap sarapan bersama.

Sedekat itu mereka.

Kan, tetangga.

"Cuma telur dadar?" protesan Ara disambut tawa Darma.

Bagi keluarga Darma tidak aneh melihat tingkah Ara. Paket komplit pada gadis itu malah membuat Darma juga Farida terhibur.

Maklum rumah sepi, hanya ada Banyu.

Sedangan Banyu, sudah kenyang dengan kelakuan tetangganya itu.

"Mana tau, Ra. Biasanya kamu muncul pas Ibu masak."

"Ara baru bangun. Telat juga ke Konter." piring sudah terisi nasi goreng plus terong sambal. Sepotong ikan asin tidak dilupakan gadis itu.

"Mau Ibu goreng?"

"Boleh."

Banyu menghela nafas pelan. Sikap Ara sangat tidak sopan. Dan Ibunya masih meladeni gadis itu.

Bukan hanya sekarang.

Tapi, sudah sepuluh tahun yang lalu.

"Konter rame, Ra?"

"Alhamdulillah Pak. Main Pak. Udah lama Bapak nggak main ke konter."

Darma terkekeh, ia meneguk teh yang sudah mulai dingin.

Ranjang TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang