PROLOG

1.6K 161 105
                                    


~♥~



Laki-laki itu melangkahkan kakinya dengan angkuh melewati koridor sekolah elite di tengah-tengah kota Vancouver, Kanada.

Hampir semua pasang mata menatapnya dengan berbinar, kemudian beberapa diantaranya dengan tanpa ragu menyapa, melambai, pun hanya tatapan tajam nan dingin yang mereka dapati sebagai balasan.

Banyak juga yang mulai berbisik-bisik, mengagungkan ketampanannya yang hampir – atau memang mendekati sempurna.

Oh tentu saja, faktanya laki-laki itu memiliki darah campuran Korea dan Kanada. Badan proposional, mata tajam dengan manik kecoklatan, hidung mancung, dan kulit yang putih bersih bagai salju.

Coba lihat, bagian mana yang kurang dalam diri laki-laki itu. Hampir tidak ada. Namun, ia tetaplah manusia biasa. Agaknya ia juga memiliki sifat yang kurang –atau bahkan tidak disukai oleh orang-orang disekitarnya.

Laki-laki yang kerap disapa ‘Prince’ oleh teman-temannya itu sebenarnya tak benar-benar memiliki rasa iba atau mungkin segan kepada siapa pun itu. Sombong, angkuh, antisosial, dingin, mayat hidup --ah, rasanya sudah terlalu banyak nama panggilan yang sering laki-laki itu dengar dari mulut teman-temannya. Mungkin akan terlalu panjang jika dijabarkan.

Langkah laki-laki itu berhenti ketika tiba di depan loker yang letaknya tak jauh dari kelasnya. Tangannya bergerak menarik pintu loker, mengambil sebuah buku dan ponsel yang tergeletak disana, oh dan tentu saja barang yang tak boleh tertinggal olehnya. Sebuah earphone berwarna putih, ‘temanku yang sesungguhnya’, katanya.

Mengalungkan earphonenya ke leher, laki-laki itu kemudian menoleh setelah mendengar suara pintu loker disebelahnya yang dibuka.

“Kudengar kau akan segera pindah”, seseorang –pemilik loker di sebelahnya bersuara.

Ia mengernyit, menampakkan sedikit kerutan di dahinya. Sepasang maniknya menatap seseorang di sebelahnya denggan tatapan yang menuntut, seolah bertanya ‘apa maksud dari ucapanmu?’. Untung saja seseorang itu cukup peka untuk dapat mengerti maksud tatapan si laki-laki blesteran Korea Kanada.

“Kakekmu datang, dia di ruang-“

Belum rampung kalimat itu diucapkan, si laki-laki blesteran sudah berjalan menjauhi loker dengan tergesa setelah sebelumnya membanting pintu lokernya. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat beberapa orang disana berjingkat, kaget.

“Kakek” panggil laki-laki itu setelah menemukan orang yang sudah hampir enam tahun ini tinggal dan merawatnya sejak kepindahannya ke Kanada.

Seorang pria tua yang baru saja keluar dari sebuah ruangan itu mengulum bibir, tersenyum. Menghampiri si laki-laki, pria tua itu menepuk pundaknya kemudian.

Membuat si laki-laki memiliki tanda tanya besar di pikirannya, akan ada hal apa yang terjadi padanya setelah ini. Akankah kakeknya itu memberinya kejutan padahal hari ulang tahunnya sudah lewat beberapa bulan lalu.

“Ada apa kakek datang ke sekolah?”, suaranya, pelan.

Kembali tersenyum, pria tua itu kemudian menggiring si laki-laki untuk melangkahkan kaki menjauhi ruangan yang beberapa menit lalu telah ia masuki. Si laki-laki hanya menurut sembari memutar bola matanya jengah.

Ia sudah paham betul perangai sang kakek yang sepertinya menyembunyikan sesuatu darinya. Ia tidak bodoh, sungguh ia tidak bodoh untuk tahu bahwa sang kakek memang telah mengurus surat kepindahannya tanpa persetujuan apa pun darinya.

Tanpa bertanya dan tanpa ada kalimat penjelas perihal kenapa ia harus pindah sekolah dan ke sekolah mana ia akan pindah.

“Kita akan bicarakan ini dirumah nanti, nak”

Laki-laki itu mendengus setelah mendengar suara serak kakeknya yang memang sudah lanjut usia. Matanya menerawang, menatap gerakan pelan sang kakek yang berjalan di sebelahnya. Tangan pria tua itu sudah tak lagi berada di pundak sang cucu, melainkan sudah menggantung di sisi tubuhnya.

Agaknya memang benar, ada suatu hal yang tengah ia sembunyikan dari sang cucu yang terlihat lebih tinggi darinya itu.

“Kalau begitu nanti aku akan pulang cepat. Kakek pulanglah lebih dulu, istirahat dan jangan lewatkan makan siang”, Laki-laki bertubuh jangkung itu bersuara, melirik arloji yang melingkar di tangannya kemudian.

“Aku harus ke kelas sekarang”, laki-laki itu kembali bersuara sebelum melangkahkan kakinya menjauh setelah mendapatkan anggukan kecil dari sang kakek.

Meninggalkan pria tua itu sendirian di tengah koridor yang telah sepi, membuat si pria tua itu mengulum bibir. Tidak, ia bukan tersenyum seperti senyum yang tadi. Itu senyum hambar, siratan penuh harap terlukis jelas di mata dan wajahnya yang telah keriput.

“Kamu harus segera pulang, nak. Pulanglah ke rumahmu”, pria tua itu bergumam.

Gumanan yang terdengar seperti sebuah permohonan dan mungkin saja ia tujukan pada sang cucu yang sudah berjalan menjauh, punggungnya bahkan sudah tak terlihat lagi.












***











@hinjn_
@hd117618

Semesta √Where stories live. Discover now