Kesepakatan (2)

4 0 0
                                    

"Apa maumu?" Aline bertanya pada pria di sebelahnya. Aline sadar pria itulah pembawa kehangatan tersebut.

"Mendekatimu," jawab pria itu. Aline tersenyum tanpa mengalihkan pandangannya.

"Untuk apa?" tanya Aline lagi.

Pria itu diam. Sedetik, dua detik, sepuluh detik. Pria itu mengubah posisi duduknya menghadap Aline. Ia lalu tersenyum pada Aline.

"Mencabut nyawamu," ....

-----------------------------------------

Hening. Aline diam. Tapi senyumnya masih bertahan, tipis, namun dingin di wajahnya.

"Kau ingin membunuhku? Aku akan senang hati untuk kau bunuh. Tapi apa yang kau dapat? Aku tak memiliki harta atau jabatan yang bisa kau ambil," ungkap Aline yang juga mengubah posisinya menghadap pria itu.

Jujur Aline takut. Bukan karena matinya, tapi ia takut menghadapi rasa sakit saat nyawanya dicabut.

Pria itu tersenyum. Ia menatap sepasang mata bola Aline. Cokelat, pikir si pria itu saat menatap dua bola mata itu.

"Aku tak bertugas membunuhmu. Dan aku tidak melakukan tugas itu untuk harta atau jabatan apapun," jawab si pria itu tanpa melepaskan tatapannya dari sosok di depannya.

"Lalu," tanya Aline lagi. Entah kenapa Aline tak takut pada pria itu, padahal pria itu terang-terangan mengungkapkan tujuannya mendekati Aline.

"Aku Hazarel. Malaikat pencabut nyawa. Aku bertugas mencabut nyawamu." Terang pria itu pada Aline. Tangan kanannya terangkat lalu mengusap rambutnya.

"Wow, malaikat pencabut nyawa mendatangi korbannya dulu untuk mengatakan hal tersebut. Jadi korbannya bisa berhati-hati ya," Aline tersenyum geli menanggapi jawaban dari Hazarel.

"Sepertinya aku termasuk manusia istimewa yang mendapat perlakuan seistimewa itu dari langit," lanjut Aline.

Posisi duduk mereka kini berubah. Mereka sama-sama menghadap laut.

Suasana dermaga itu makin ramai. Setelah senja menghilang, muda-mudi pun berdatangan. Entah apa yang mereka lakukan. Memadu kasih atau sekadar nongkrong bersama teman. Mereka melihat seorang pria dan perempuan duduk di bangku berwarna kuning. Wajah kedua orang yang duduk itu tampak serius. Keduanya duduk bersandar dan masing-masing bersedekap menghadap laut.

"Aku juga tidak tahu mengapa kamu begitu istimewa. Biasanya aku langsung mencabut nyawa seseorang tanpa ada pemberitahuan seperti ini. Tapi aku hanya menjalankan tugas, termasuk memberi tahumu seperti sekarang," Hazarel menjawab.

"Hm, tampaknya Tuhan begitu sayang padaku. Lalu kapan kau mencabut nyawaku? Sekarang?" tanya Aline sambil menolehkan kepala ke arah Hazarel.

Hazarel membalas tatapan itu. Matanya terpesona pada bibir tipis di depannya.

Hazarel tersenyum. "Tujuh hari lagi," jawab Hazarel dengan mata yang sendu. Hazarel merasa tugasnya kali ini berat. Entahlah.

"Hmmm. Lalu apakah aku mendapat pengabulan permintaan sebelum mati, mengingat aku adalah manusia istimewa," Aline bertanya. Ia merasa geli menyebut kata manusia istimewa. Berbanding terbalik dengan kehidupan nyatanya.

"Ada. Dua permintaan," Hazarel menjawab. Beberapa helai rambut Aline jatuh ke arah wajah perempuan itu. Hazarel mengulurkan tangan menyentuh rambut itu. Ia lalu menyampirkan helai-helai rambut ke telinga Aline.

Aline terkejut. Bola matanya membesar. Namun ia diam saja. Ia menikmati gerakan Hazarel. Jantungnya berdetak kencang. Perasaannya begitu hangat. Sudah lama Aline tak merasakan kehangatan seperti itu.

"Hmmm," Aline menarik suara yang mulai serak. Entah karena fakta ia akan mati atau karena perlakuan hangat Hazarel padanya.

"Sangat adil. Aku akan mati dengan dua permintaan yang diberikan Tuhan padaku. Aku terima," .....

(Bersambung)

Utusan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang