Menunggumu (5)

2 0 0
                                    

"Haz," panggil Aline pada sosok yang duduk di lantai, tepat di bawah kakinya. Sosok itu duduk di lantai. Punggungnya bersandar pada dinding dipan.

"Ya, ada apa?" tanya Hazarel dengan mata memandang sendu ke wajah Aline.

"Apa aku tidak bisa mati sekarang saja?"...........

--------------

Tok tok, tok tok

Aline menoleh ke pintu. Ia lalu bangun dari ranjang. Pintu pun dibuka.

"Ada apa?" tanya Aline pada perempuan di depan kamarnya. Ya, Thalia yang mengetok kamarnya.

"Aku dan Ibu mau pergi. Kamu jaga ayah, ya," jawab Thalia.

"Kemana? Udah malem ini," ujar Aline mengingatkan kakak tirinya itu.

"Suka-suka aku dan Ibu dong. Yang perlu kamu pikirin itu uang 75 juta. Aku gak mau tau. Uang itu harus ada," sergah Thalia pada Aline dengan tangan telunjuk mengarah ke wajah perempuan itu.

"Aku gak punya uang sebanyak itu. Dari mana aku dapet." Aline mengungkap kondisi sebenar dirinya. Ya dari mana dia dapat uang sebanyak itu. Ia memang punya tabungan. Tapi mana mungkin sebanyak itu.

Aline mengusap dahinya. "Tidak mau tau. Dengar itu," ujar Thalia dengan penekanan di tiap kata yang ia sampaikan pada Aline. Thalia kemudian berlalu ke pintu rumah. Di sana, Clara sudah menunggu. Mereka kemudian menghilang dari pandangan begitu Aline menutup pintu.

Suasana rumah begitu hening. Hanya bunyi kendaraan yang menderu dari jalan raya.

"Aline," Hazarel memanggil Aline. Si pemilik nama menoleh.

"Ya?" tanya Hazarel singkat. Matanya menatap wajah di depannya. Aline harus sedikit mengangkat kepala saat memandang Hazarel.

Melihat tatapan Aline membuat Hazarel membeku. Wajah gadis ini begitu sendu tapi manis. Menggoda untuk disentuh. Bibirnya berona merah muda. Pikir Hazarel saat itu.

Hazarel mengenyahkan pikiran itu. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia menarik napas berat, seolah tak rela.

"Tugas memanggilku. Aku harus pergi," jawab Hazarel.

"Sekarang?"

"Ya. Aku akan segera kembali memenuhi janjiku padamu," jawab Hazarel. Pikiran apa yang merasuknya saat ia menggerakkan tangan mengusap wajah kiri Aline.

Lembut. Benak Hazarel berkata seiring usapan jemari telunjuknya di wajah Aline. Mereka berpandangan.

Aline diam. Ia terjebak dalam pandangan mata biru di depannya. Jantungnya berdetak, kencang, makin kencang. Pipinya serasa hangat.

Matanya memejam. Ingin ia nikmati momen itu. Sesekali ia menggerakan kepala menanggapi usapan jemari kokoh itu.

"Pergilah. Aku akan menunggumu,"  Aline berkata. Senyum mengulas di bibirnya. Hazarel membalas senyum itu...

(Bersambung)

Utusan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang