Sekarang saja (4)

4 0 0
                                    

"Mmm Haz, aku mau cari makan. Setelah itu pulang. Kau mau ikut? Eit ini bukan permintaan, tapi tawaran. Jadi tidak masuk dalam perjanjian ya," kata Aline sambil berdiri dari duduknya.

Gadis ini, pikir Hazarel, bisa berubah sikap secepat waktu. Tadi ia murung. Kini ceria dengan ulasan senyum seolah tak mau lepas dari wajahnya. Dia manis.

"Oke," Hazarel menerima tawaran itu.

----

Aline duduk bersandar di kursinya. Warung makan itu sederhana saja. Makanannya pun ya biasa saja. Nasi dan ayam geprek, plus es teh manis.

Perutnya kenyang. Ia meneguk es teh manis yang masih tersisa di gelasnya. Dingiiin. Cukuplah untuk menyegarkan otak dan tenaga yang telah terkuras setelah bekerja seharian.

"Yakin, kamu gak mau makan, Haz?" tanya Aline pada sosok pria di depannya. Aline hanya basa basi bertanya. Mana mungkin malaikat makan.

Namun pertanyaan Aline bagi Hazarel malah menyerupai godaan. Aline berbicara sambil menggoyang-goyangkan gelas di genggamannya. Senyumnya tersimpul dan memikat. Matanya menatap ke Hazarel.

Hazarel tahu Aline tak menggodanya. Tapi Aline memang punya daya pikat dalam kesederhanaannya.

"Jangan bilang kau tak tahu bahwa malaikat tidak makan," Hazarel bertanya balik. Ia membalas senyum gadis di depannya.

"Haz, aku mau pulang. Aku tidak boleh pulang larut malam. Kau ikutkan?" kata Aline sambil berdiri dan bersiap untuk meninggalkan tempat itu.

Hazarel mengangguk. Ia pun mengikuti langkah Aline hingga ke sebuah gang sempit. Mereka tak berbicara selama di jalan.

Ya, rumah Aline tak jauh dari tempatnya bekerja. Aline butuh waktu 20 menit untuk berjalan dengan santai ke rumahnya.

Tepat di depan rumah berwarna dinding hijau, Aline menghentikan langkahnya. Ia menghadap Hazarel. Dahinya berkerut.

"Haz, bila kau ikut aku masuk, orangtua ku pasti akan kaget karena aku membawa seorang laki-laki ke rumah. Aku lupa dengan masalah itu," Aline mengungkapkan kebingungannya.

"Tenang saja, mereka tak akan bisa melihatku. Kecuali kalau aku yang menginginkan. Seperti tadi saat di jalan, agar orang tak menganggapmu gila bila sedang berbicara padaku," ujar Hazarel.

Hazarel tersenyum. Aline pun tersenyum lega. Ia merasa mendapat perhatian. Hmmm, aku hanya kegeeran, pikir Aline.

"Baiklah. Mari masuk," ucap Aline sambil melangkah ke pekarangan. Lalu tangan mungilnya membuka pintu kayu berwarna cokelat.

Begitu ia menutup pintu, suara dari seorang perempuan menyambutnya.

"Kemana saja kau. Jam segini baru pulang. Kau pasti kelayapan malem ya," perempuan berdaster corak bunga merah-merah itu menyambutnya. Perempuan itu duduk di kursi tamu. Tangannya bersedekap menghadap Aline.

Aline masih berdiri. Namun ia membalikkan tubuhnya ke perempuan itu.

"Bu, aku pulang jam 5," jawab Aline. Ia melihat jamnya. Jarum pendek menunjuk angka 9. Belum terlalu malam kok, pikir Aline.

"Halaaah Bu. Palingan dia makan dulu baru pulang. Enak ya Bu. Dia makan enak, kita cuma makan nasi sama tempe," kata seorang gadis di samping perempuan itu.

Clara nama perempuan berdaster corak bunga merah itu. Mereka adalah ibu Aline. Salah! Istri dari ayahnya Aline. Clara menikah dengan Robert, ayahnya Aline, lima tahun lalu.

Dalam pernikahan itu, Clara membawa seorang anak gadis yang usianya tiga tahun lebih tua dari Aline. Gadis itu duduk di samping Clara di kursi tamu. Namanya Thalia.

Jadi, Clara adalah ibu tiri Aline. Sedangkan Thalia adalah kakak tirinya.

Aline menarik napas untuk menenangkan dirinya. Ia melirik sekilas ke kanan. Hazarel ada di sampingnya. Tampaknya Clara dan Thalia tak bisa melihat Hazarel.

"Mana ayah, Bu," tanya Aline pada perempuan yang sibuk mengoleskan kuteks ke kuku tangannya.

"Kau pikir kemana lagi ayahmu. Kan cuma bisanya di kamar saja. Mana mungkin ayahmu keluar selangkah pun dari kamarnya," jawab Clara.

Aline tak mau mendengar ocehan Clara. Ia pun melangkahkan kaki berniat masuk ke kamarnya. Tapi suara Thalia menghentikan langkahnya.

"Aline, aku butuh uang 75 juta rupiah dua hari lagi. Kau siapkan ya. Dua hari lagi aku ambil," kata Thalia sebelum Aline membuka pintu kamarnya.

Aline lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Dibukanya tiga kancing atas baju. Ia gerah. Bukan karena kamarnya tak ber-AC. Tapi ia gerah dengan permintaan Thalia.

Darimana ia mendapat uang sebanyak itu. Gajinya cuma 4 juta rupiah sebulan. Ia pun hanya mengambil jatah sejuta untuk keperluannya bekerja.

Sisanya ia beri ke Clara untuk mengurusi rumah, saudara, dan pengobatan ayahnya.

Sudah tiga tahun Aline bekerja sebagai petugas kasir di sebuah tempat rekreasi di Ancol. Sementara ayahnya sakit lumpuh sejak lima tahun lalu.

Dulu keluarga Aline berada meski tidak bergelimang harta miliara  juga. Ayahnya pemilik toko pakaian di Mangga dua. Sesekali Aline membantu ayahnya berjualan.

Sejak ibunya meninggal, usaha toko ayahnya goyang. Ayah kemudian menikah dengan Clara. Bukannya lebih baik, Clara dan Thalia justru menguras harta ayahnya. Hingga akhirnya ayahnya lumpuh.

Sekarang di sinilah Aline. Di sebuah kamar pengap. Di sebuah rumah kontrakan. Kehidupannya berubah 180 derajat dari lima tahun lalu.

Ayahnya lumpuh. Clara dan Thalia terus merongrongnya. Adiknya, Amanda, masih harus bersekolah. Aline juga harus bekerja pontang panting memenuhi semua itu.

Sudah tahu ayahnya bangkrut, kenapa sepasang ibu anak itu masih saja tinggal bersama Aline, ayahnya, dan Amanda. Apa yang mereka inginkan dari Aline.

"Haz," panggil Aline pada sosok yang duduk di lantai, tepat di bawah kakinya. Sosok itu duduk di lantai. Punggungnya bersandar pada dinding dipan.

"Ya, ada apa?" tanya Hazarel dengan mata memandang sendu ke wajah Aline.

"Apa aku tidak bisa mati sekarang saja?"...........

(Bersambung)

Utusan LangitWhere stories live. Discover now