Jangan Pernah Takut (7)

0 0 0
                                    

Maaf baru bisa upload lagi. Selamat membaca

Hazarel adalah malaikat pencabut nyawa. Karakternya begitu dingin saat melaksanakan tugasnya. Ia tak pernah merasa kasihan saat mencabut nyawa manusia di depannya. Bahkan ketika manusia itu menangis, meraung, atau memohon, nyawa manusia itu harus dicabut. Itulah takdir.

Tapi karakter itu tak berlaku untuk Aline. Bila Almighty menugaskannya mencabut nyawa Aline, kenapa tak langsung saja. Kenapa harus memberi informasi kematian pada Aline dan memberikan kesempatan mengabulkan permintaan Aline sebelum mati.

"Apa maumu, Almighty?"...

---------------

Pukul 19.00, Aline tiba di rumahnya. Ia baru saja pulang dari bekerja. Ia melihat Clara sedang menonton televisi. Hmmm seperti biasa, gumam Aline lirih.

Amanda mungkin ada di kamarnya. Sedangkan ayahnya sudah pasti ada di kamar.

Amanda langsung masuk ke kamarnya. Ia duduk di sisi ranjang. Ia berpikir keras. Dahinya mengkerut. Tangannya memeluk guling di pangkuannya.

"Sedang mikirin apa?" Hazarel bertanya pada Aline.

"Thalia. Dia butuh uang 75 juta. Dia minta hari ini harus ada. Gimana aku bisa dapatkannya, Haz. Hari ini deadline-nya. Aku gak mungkin ngasih segitu banyak. Kalau 75 ribu sih ada," jawab Aline dengan dahi yang masih berkerut. 

"Apa kamu mau aku yang ambilkan uang sebanyak itu. Itu gampang buat aku," ungkap Hazarel.

"Eh jangan. Aku tau kamu itu malaikat. Tapi ya masa seenak udelmu gitu," cegah Aline.

"Line, udel itu apa?" Pertanyaan Hazarel sontak membuat Aline tertawa. Aline sampai harus memegang perutnya karena tawa itu.

Hazarel senyum. Ia memang tidak tahu soal udel. Tapi melihat Aline tertawa lepas seperti itu membuat Hazarel tersenyum. 

Tertawalah, Aline. Nikmati sisa hidupmu. Kata Hazarel yang tak keluar dari mulutnya.

Tok tok tok tok...

Aline bungkam. Matanya memandang pintu kamar yang terkunci. Ia bingung.

Tok tok tok tok...

Aline makin bingung. Haruskah ia membuka pintu yang digedor makin keras itu.

Aline mengalihkan pandangan ke Hazarel. "Haz, aku harus bagaimana?" tanya Aline pada sosok tampan itu. Wajah Aline tegang. Matanya menyipit. Dahinya berkerut. Kepalanya berat.

"Bukalah. Lakukan yang menurutmu benar. Jangan pernah takut. Aku di sini bersamamu," Hazarel berkata dengan jari jempol dan telunjuknya di dagu Aline. Senyum tipis ditunjukkan Hazarel untuk menguatkan Aline.

Sayang, Aline tak bisa menikmati momen itu. Ketukan di pintunya berubah menjadi gedoran.

Aline menarik napas panjang. Ia lalu membuka pintu.

"Ya?" tanya Aline pada perempuan di depannya.

"Mana janjimu?" tanya Thalia dengan berkacak pinggang. Seperti biasa, wajah Thalia full make up. Beda dengan Aline yang memiliki wajah polos tanpa polesan berat.

"Janji apa?" tanya Aline lagi. Karena ia tak pernah merasa menjanjikan apapun pada Thalia.

Wajah Thalia makin tegang. "Kamu lupa? Kamu sudah berjanji akan memberikan aku uang 75 juta hari ini ke aku. Aku kan sudah memintanya ke kamu," kata Thalia pada adik iparnya itu.

"Ooo itu. Aku enggak pernah janji. Aku tau kamu meminta. Tapi aku tak pernah menyanggupinya. Lagian dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?" jawab Aline tenang.

Ketenangan Aline malah membuat Thalia meradang. Thalia marah. Matanya merah. Aura di wajahnya menggelap.

"Berani beraninya kamu bilang begitu, Aline. Kalau aku minta ya aku minta. Kamu gak boleh menolaknya," sergah Thalia dengan nada suara yang makin tinggi.

Suara Thalia mengundang Clara dan Amanda mendatangi keduanya. Amanda memeluk Aline. Aline membalas dan membelai lembut rambut panjang adiknya itu.

"Thalia, Aline, ada apa ini?" tanya Clara pada anak kandung dan anak tirinya itu.

"Bu, dia gak mau memenuhi permintaanku, Bu," Thalia mengadu.

"Aline?" tanya Clara pada Aline. Lebih tepatnya, mengintimidasi Aline.

"Kenapa memandangku seperti itu, Bu? Dia yang meminta uang padaku, 75 juta. Apakah itu realistis? Dari mana aku dapat uangnya? Kenapa gak minta ke ibu aja?" jawaban Aline membuat Thalia meradang.

Clara juga terkejut mendengar jawaban Aline. Ia merasa Aline anak yang polos dan akan selalu menurutinya. Tapi, anggapan itu dimentahkan malam ini.

Tapi Clara tidak marah. Ia hanya tersenyum. Licik.

"Hummm. Kau tidak bisa memenuhi permintaan Thalia. Tidak masalah," Clara berkata.

"Tapi, Bu. Utang-utangku gimana? Orang-orang itu akan datang menagihku," kata Thalia mendengar ucapan ibunya itu.

Senyum Clara makin lebar. 

"Ooo jadi kau punya utang. Kau yang berutang, aku yang bayar. Enak sekali kau...,"

"Diam kau," bentak Thalia memutuskan penilaian Aline. Aline diam. Amanda di dekapannya berurai air mata. Tapi suara tangis tak terdengar dari bibir gadis yang masih duduk di bangku SMA itu.

Aline terus membelai rambut Amanda. Ia berusaha menenangkan Amanda. Walau, jantungnya berdetak hebat. Bila ia tak kuat, kakinya mungkin akan merosot lemas.

Hazarel melihat semua itu. Ia berada di belakang Aline. Sangat dekat. Tangan kirinya memeluk pinggang Aline. Tangan kanan mengusap-usap bahu perempuan itu.

Mungkin sepasang tangan itu yang menguatkan Aline. Tangan tak kasat mata. Hazarel menyelubungi dirinya. Sehingga, selain Aline, tak ada yang bisa melihatnya. 

(Bersambung) ----

Utusan LangitWhere stories live. Discover now