Temani aku (3)

1 0 0
                                    

"Hmmm," Aline menarik suara yang mulai serak. Entah karena fakta ia akan mati atau karena perlakuan hangat Gabriel padanya.

"Sangat adil. Aku akan mati dengan dua permintaan yang diberikan Tuhan padaku. Aku terima," .....

--------------------

Mengakhiri kehidupan dengan kematian. Pemikiran itu tak pernah terlintas di kepala Aline. Ia tak pernah memikirkan cara untuk mati, bagaimana sakitnya mati, kapan ia mati.

Yang ia lakukan hanya bertahan hidup. Ia punya banyak alasan untuk mengakhiri hidup. Tapi untuk apa juga ia memikirkan mati. Begitu pikirnya di usia 23 tahun itu.

"Haz. Bolehkah aku memanggilmu Haz?"  tanya Aline pada malaikat yang tak menunjukkan sayapnya itu. Ya setidaknya seperti itulah sosok malaikat di benak Aline. Bersayap.

Hazarel mengangguk.

"Apakah aku menderita sebuah penyakit sehingga aku harus mati?" Aline penasaran.

"Kamu tidak menderita sakit. Aku hanya melaksanakan tugasku, entah manusia itu sakit atau tidak," jawab Hazarel.

Aline mengangguk.

"Lalu apa permintaanmu?" Pertanyaan Hazarel menghentikan anggukan panjang Aline.

Aline tampak berpikir. Dahinya berkerut. Bola matanya berputar sekali, dua kali. Bibirnya mengerucut. Tarikan napas terdengar.

Tak lama senyumnya mengembang. Ia tabu permintaan pertamanya

"Kau harus menemaniku hingga masa ku berakhir," pinta Aline.

Senyumnya masih menghiasi wajahnya. Matanya kedap kedip, merayu Hazarel.

"Hahahaa...," Hazarel tertawa.

"Kenapa tertawa,?" Aline heran lalu memundurkan wajahnya.

"Kau lucu dengan ekspresi itu," ungkap Hazarel dengan wajah tampak sumringah. Aline tersipu, pipinya terasa merah mendapatkan tanggapan seperti itu dari Hazarel.

"Oke, aku akan menemanimu. Tapi ketika tugas memanggil, aku tak bisa bersamamu. Deal?" lanjut Hazarel sambil mengelus pipi Aline yang merona. Entah kenapa Hazarel seolah tak bisa menahan diri ketika berhadapan dengan Aline. Baru beberapa jam bertemu, sikap Aline, ekspresi Aline, mendapat tanggapan dari Hazarel. Padahal Hazarel tak pernah tertawa saat menjalankan tugasnya.

Hazarel selalu dingin saat menjalankan tugasnya. Ia tak pernah terlibat percakapan, apalagi emosi dengan korbannya.

"Tugas mencabut nyawa?"
"Tentu," jawab Hazarel.

Mereka berdua pun tersenyum lalu tertawa bersama-sama. Bersama Aline, kata mencabut nyawa tidak lagi seram, pikir Hazarel.

"Mmm Haz, aku mau cari makan. Setelah itu pulang. Kau mau ikut? Eit ini bukan permintaan, tapi tawaran. Jadi tidak masuk dalam perjanjian ya," kata Aline sambil berdiri dari duduknya.

Gadis ini, pikir Hazarel, bisa berubah sikap secepat waktu. Tadi ia murung. Kini ceria dengan ulasan senyum seolah tak mau lepas dari wajahnya. Dia manis.

"Oke," Hazarel menerima tawaran itu.

(Bersambung)

Utusan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang