Dicium Malaikat Maut (8)

0 0 0
                                    


Hazarel melihat semua itu. Ia berada di belakang Aline. Sangat dekat. Tangan kirinya memeluk pinggang Aline. Tangan kanan mengusap-usap bahu perempuan itu.

Mungkin sepasang tangan itu yang menguatkan Aline. Tangan tak kasat mata. Hazarel menyelubungi dirinya. Sehingga, selain Aline, tak ada yang bisa melihatnya. 


-----------------

"Thalia, ayo kita keluar sebentar," ajak Clara sambil membalikkan badannya ke arah pintu rumah. Tangannya menarik Thalia. Kakinya menjauh dari Aline yang berdiri berdekapan dengan Amanda.

"Tapi, Bu..."

"Ikut Ibu sekarang," bentak Clara pada putri kandung kesayangannya itu. Thalia menurut.

Aline menatap ke arah sepasang ibu anak itu hingga mereka keluar pintu rumah. Aline lalu bernapas lega. Ia lalu terduduk lemas di lantai. Kakinya benar-benar lemas.

Amanda langsung memeluk kakaknya. Tangisnya pecah. Ia memeluk pundak Aline.

Tapi Aline tak membalas. Ia benar-benar lemas. Ia hanya diam. Dua telapak tangannya bergeletak di pahanya. Ia diam.

Hazarel yang masih tak kasat mata itu mendekat. Ia duduk di depan Aline. Ia lalu menggenggam kedua telapak tangan di paha Aline.

Aline membalas. Aline menatap sepasang mata di depannya. Bibirnya terbuka sedikit. 

Ia ingin menangis. Tapi ia menahan air matanya. Betapa tidak. Ia tidak pernah sekalipun beradu mulut dengan siapapun. Bahkan sejak ia masih kecil. Ia lebih memilih untuk mengalah. Bahkan ayah dan ibunya tak pernah membentaknya. Tapi ibu dan kakak tirinya itu berbeda. Dan Aline harus kuat menghadapi mereka.

"Amanda. Kamu tidur temani ayah ya. Jaga ayah," pinta Aline pada adik kecilnya itu.

"Tapi gimana dengan Kakak?" tanya Amanda dengan nada yang khawatir. Ia tak mau meninggalkan kakaknya dalam kondisi seperti itu.

Aline tahu kekhawatiran itu. Ia menolehkan wajah ke Amanda. Ia mempertemukan dahinya ke dahi Amanda. Ia lalu tersenyum.

"Aku tidak apa-apa. Aku cuma butuh waktu menenangkan detak jantungku. Kau sendiri tadi dengarkan detak jantungku," kata Aline dalam senyumannya.

"Tapi, Kak, ..."

"Please, Amanda," pinta Aline yang membuat Amanda tak bisa menolak.

Amanda lalu melepaskan pelukannya. Sebelum masuk ke kamar ayahnya. Amanda mengunci pintu rumah. Ia tak perlu khawatir bila ibu dan kakak tirinya itu datang. Karena mereka sudah punya kunci sendiri.

Amanda membalikkan tubuhnya sebelum masuk ke kamar ayahnya. Ia melihat Aline masih duduk lemas di depan pintu kamarnya. Ya, kamar Aline berseberangan dengan kamar ayahnya.

"Kak, kalau butuh sesuatu, bilang padaku, ya," pinta Amanda. Aline mengangguk.

Amanda lalu masuk ke kamar ayahnya.

---

Di kamar, Aline berbaring miring di sisi ranjang. Tatapannya kosong. Dia masih syok dengan kejadian itu.

"Hei, tidurlah. Tenanglah. Aku di sini bersamamu," ujar Hazarel yang duduk di lantai di samping Aline.

Ia memandang wajah Aline yang masih terguncang. Aline hanya berurai air mata tapi suaranya tak terdengar. Hanya air mata yang mengalir.

Jemari Hazarel mengusap kepala Aline. Lalu wajahnya mendekat. 

"Cup...," ciuman sang malaikat mendarat tepat di bibir Aline.

(Bersambung) ---

Utusan LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang