Kau tidak Boleh Mati (10)

2 0 0
                                    

Di seberang jalan, polisi itu mengeluarkan handphone.

"Jeffry, kau lihat perempuan yang aku tolong tadi? Awasi dia!" ...

-------

Aline berbaring di ranjangnya. Matanya menerawang ke langit-langit kamar.


"Kak, apa ibu melihat kita? Apa ibu mengingat kita? Apakah ibu masih mencintai kita?" tanya Amanda yang berbaring bersama Aline di ranjang bersepraikan katun bercorak kotak-kotak biru itu.


"Pasti. Aku yakin ibu masih mencintai kita, masih mengingat kita," jawab Aline. Diam-diam, ia membayangkan wajah ibunya. Ia yakin bila masih hidup, ibu akan memasakkan soto ayam kesukaan keluarga mereka.

Flashback on ---

Uniknya soto dimakan dengan lontong, bukan nasi seperti yang dijual. Soto menggunakan banyak bahan yang tidak Aline temukan di rumah makan lain, lebih tepatnya jarang.


"Ini soto apa, Bu? Kok beda dari yang dijual di sekolah aku," tanya Aline suatu malam saat ibu sedang menyajikan semangkok soto di meja makan.


"Di sekolahmu, sotonya kayak apa?" tanya ibu balik.


"Ada ayamnya, ada kentangnya, ada empingnya, pakai kuah santan. Makannya pake nasi," tutur Aline menjelaskan.


"Apa bedanya dengan soto buatan ibu?" tanya ibu lagi.


"Kalau sotonya ibu kan pake soun, lontong, toge," jawab Aline sambil menyuapkan sesendok lontong ke mulutnya.


"Ibu bikin soto banjar. Tiap daerah punya makanan khas masing-masing. Pasti ada perbedaannya. Tapi itulah enaknya. Coba kalau semua warung makanannya sama, ya yang beli bingung gak punya pilihan kan," jawab sang ibu.


"Betul, Bu. Berarti kita harus bisa menyesuaikan diri dengan perbedaan itu kan ya," ungkap Aline...


Flashback end ---


"Kamu mau titip salam ke ibu?" tanya Aline pada Amanda. Ingatan soal ibu yang sudah meninggal 7 tahun lalu, mengingatkan Aline pada masanya yang tersisa 2 hari lagi dj dunia ini.


"Pertanyaan apa itu, Kak? Kayak mau mati aja?" jawab Amanda kesal dengan pertanyaaan Aline.


Aline memiringkan tubuhnya menatap Amanda di sebelah kanan. Ia tersenyum. Mata dua kakak beradik itu bertemu.


"Kan Kakak cuma nanya. Mana tau umur Kakak, terus besok meninggal," ungkap Aline dengan tak melepas senyum dari bibirnya.


Amanda bangun, duduk di sisi ranjang. Ia tak nyaman dengan omongan Kakak.


"Apaan sih Kak. Dah ah, yuk makan. Kakak kan tadi dah beli nasi goreng. Aku laper nih. Lagian Kakak nanya kayak gitu. Gimana kalau ternyata aku yang duluan mati, Kak? " ungkap Amanda dengan nada sebal, lalu melangkahkan kaki ke pintu kamar dan mengarah ke ruang makan.


Aline tersenyum. Aline sayang pada adiknya itu. Aline tak mau kehilangan gadis kecil itu. Jadi bila Amanda yang meninggal duluan, Aline sudah tahu apa permintaan keduanya pada Hazarel. Egois memang. Tapi itulah kenyataannya.


"Aku tidak akan membiarkanmu tinggalkan aku, Manda. Kau tidak boleh mati lebih dulu," ucap Aline, di dalam hati.


---

Jam 12 malam,

Aline berada di kamar ayahnya. Ia memijit-mijit lengan sang ayah. Aline tak sendiri. Di sebelahnya Hazarel berdiri. Hazarel menatap dua sosok sendu di depannya.


Sosok pria tua berwajah sendu itu sedang tidur. Raut menua tampak di wajahnya. Tubuhnya lemah setelah lumpuh sejak beberapa tahun lalu. Pria itu tampak renta dan benar-benar lemah. Jangankan berdiri, bersuara pun terbata-bata.


Sedangkan di sisinya adalah putrinya. Tubuhnya tampak tegar menutupi kerapuhan jiwanya. Senyum manis membendung tangis yang ada di sudut matanya.


Tapi siapa sangka, tubuh kuat itu justru akan pergi lebih dulu menghadap Almighty. Gadis itu tak menantikan kematian, ia juga tak menolak maut. Meski sudah tahu batas masanya, gadis itu tak panik.


"Ayah," bisik Aline sambil memijat-mijat kaki ayahnya. Tapi pria yang dipanggil itu tentu tak menjawab. Ia sedang lelap.


"Ini hari terakhir ku memijit ayah. Nanti malam aku sudah tak bernyawa lagi," ungkap Aline dengan suara pelan. Tapi Hazarel mendengar itu.


Hazarel mengulurkan tangan menggenggam pundak Aline. Aline menoleh sesaat ke arah tangan itu. Lalu ia kembali menatap wajah ayahnya.


Entah apa pengaruh yang disalurkan Hazarel melalui genggaman itu. Kekuatankah? Apakah gadis itu butuh kekuatan darinya, di hari terakhirnya hidup di dunia?


"Tapi ayah gak perlu khawatir. Aku akan pergi dengan damai. Aku yakin Amanda akan menjaga ayah dengan baik. Tapi ayah gak boleh sedih. Karena aku akan bertemu ibu. Kami berdua akan menunggumu dan Amanda. Aku janji, Yah." Senyum mengembang di bibir Aline usai melepaskan kata-kata itu. Lalu ia menghentikan pijatannya. Dan kemudian ia berdiri di samping ranjang.


"Tapi sebelum aku pergi, aku akan menghabiskan hari terakhir ini bersama mu dan Amanda. Oiya satu lagi, Yah. Clara dan Thalia belum pulang beberapa hari ini. Semoga saja mereka tidak kembali. Jadi sepeninggalku, ayah dan Amanda bisa hidup dengan tenang. Mengenai keuangan, aku sudah menabung banyak di rekening Amanda," kata Aline sebelum melangkahkan kaki ke pintu kamar.


Aline menutup pintu kamar ayahnya. Di ranjang, air mata menetes di wajah sang ayah.


(Bersambung---)


Utusan LangitWhere stories live. Discover now