Three

1.2K 155 3
                                    

Suatu sore yang teduh. Jaemin berjalan-jalan di sekitar menara Eiffel, memperhatikan beberapa imigran Senegal dan Pantai Gading yang menawari setiap turis untuk membeli gelang atau kalung asli Afrika. Tidak sedikit orang yang menolak penawaran mereka, meskipun cara mereka bisa dibilang ‘memaksa’.

Kehidupan di Paris begitu riuh-rendah tanpa jeda. Ribut, penuh, dan tak ramah. Semua orang tak saling mengenal dan terkesan tak ingin mengenal orang lain. Dan Na Jaemin tak pernah mengerti daya tarik apa yang menyebabkan orang-orang di dunia ingin pergi ke Paris dan sekedar menancapkan diri di muka menara Eiffel. Kalau bukan karena beasiswanya, tentu saja Jaemin lebih memilih kota yang tenang untuk belajar.

Jaemin terkejut melihat sosok Lee Jeno lagi, orang yang dianggapnya psycho itu. Meskipun Jaemin penasaran dengan orang itu, namun dia berusaha untuk tidak menyapa Jeno. Ternyata Jeno juga melihat Jaemin kemudian berjalan menghampirinya.

“Hei kau! Kau Na Jaemin, kan?” mulai Jeno.

“Ya, aku Na Jaemin. Oh, kau Lee Jeno,” balas Jaemin sambil tersenyum sedikit.

“Kau mengingatku? Aku tak percaya ini!” seru Jeno.

“Maaf saja, aku mencoba melupakanmu, Jeno-ssi.” Jaemin terkekeh pelan.

“Diam kau! Dengar ceritaku!” kata Jeno dengan irama seperti mengancam.

“Aku sibuk hari ini,” sahut Jeno tenang.

“Diam dan dengarkan aku!” seru Jeno, “aku tahu kau berbohong!”

Jaemin tersentak mendengar ucapan Jeno. Jeno tahu bahwa dirinya—Na Jaemin—sedang berbohong. Saat ini dia tidak benar-benar sedang sibuk sedikit pun.

“Dengarkan! Kau mau mati atau menolongku?!” lanjut Jeno.

Jeno mengancam Jaemin. Dia memberi Jaemin dua buah opsi yang mutlak di pilihnya salah satu.

“Menolongmu?” tanya Jaemin heran.

“Dalam proyekku memusnahkan manusia,” ucap Jeno dengan nada tinggi.

“Jeno-ssi, kau gila ya?” Jaemin mulai mengkhawatirkan sesuatu.

“Sudah, ikuti saja aku.”

“Aku tidak mau!”

“Aku ingin mengajakmu ke gereja!” kata Jeno.

Jaemin merasa aneh dengan orang bernama Lee Jeno ini. Adakah seorang sosiopat yang mengajak ke gereja? Untuk apa?

“Ya sudah, ikut saja denganku,” ucap Jeno lagi.

Jaemin tak menggubris ajakan Jeno. Secepatnya dia berlari menjauhi Jeno.

Hanya karena Jaemin anak jenius dan seorang indigo, bukan berarti dia sempurna. Jaemin memiliki penyakit kolaps paru-paru yang sudah dideritanya sejak kecil. Dan itu berarti sebuah masalah untuknya saat ini. Jeno berhasil mengejar Jaemin ketika Jaemin sudah tidak kuat lagi untuk berlari.

Jeno berteriak pada Jaemin menggunakan bahasa Korea, “manusia kotor! Persetan dengan manusia!” Tentu saja orang-orang di sekitar tidak mengerti.

“Kenapa kau mengejarku? Kau seorang gay?”  pertanyaan bodoh Jaemin muncul lagi di sela-sela napasnya yang tinggal satu-satu.

“Karena kau sama sepertiku,” ujar Jeno. “Hatimu gelap, Na Jaemin.”

“Gelap? Gelap bagaimana?” sekali lagi Jaemin keheranan dengan ucapan manusia semi-normal di hadapannya itu.

“Kau itu sama denganku, kesepian, hampa, dan penuh kegelapan,” sahut Jeno menerawang.

“Kau mengoceh tentang apa sih!?”

“Ceritakan padaku, ceritakan!”

Jaemin pun makin jengah dengan ucapan Jeno. “Apa? Aku tidak mengerti!”

“Kau juga membenci manusia, kan?” tanya Jeno sambil menyeringai.

“Iya benar, aku membencimu, manusia aneh!” jawab Jaemin sarkastis.

Jeno tertawa keras. Demi seluruh arwah yang dapat dilihatnya, Jaemin merutuk dirinya sendiri yang merasa takut dengan orang bernama Lee Jeno yang gila itu. Tahu seperti ini, sudah dari awal Jaemin tidak akan menyapa Jeno. Lee Jeno yang ini sungguhan blank dalam pikirannya. Dia tidak melihat apapun tentang Jeno.

“Baiklah. Nanti aku akan datang lagi,” putus Jeno.

Jaemin cepat-cepat menggunakan kesempatan lolosnya untuk berlari lagi. Jeno tidak mengejarnya, malahan melambaikan tangan seraya tersenyum padanya.

“Dasar bocah tak waras!” gumam Jaemin.

[√] The Seeking SoulWhere stories live. Discover now