Eleven

1.4K 149 11
                                    

Hari ini Jaemin menempati flat  barunya. Lima hari menginap di hotel sudah cukup menguras isi dompetnya sebagai mahasiswa. Dia berharap, semoga dia tidak dikejar-kejar oleh arwah Lee Jeno lagi.

Seminggu berlalu. Sepertinya Lee Jeno sudah tidak mengincarnya. Hingga detik ini pun Jaemin merasa lebih aman dalam flat  barunya. Jaemin sedang mengerjakan paper yang ditugaskan oleh profesornya ketika ada seseorang yang membunyikan bel dari luar flat-nya. Dengan sedikit malas Jaemin berjalan membukakan pintu.

Tidak ada siapa pun.

Jaemin terhenyak mendapati sebuah bingkisan di depan pintu flat-nya. Dia masih bertahan dengan ekspektasinya bahwa bingkisan itu bukan dari Lee Jeno, hingga dia membuka bingkisan itu yang ternyata berisi pizza. Lee Jeno lagi. Jaemin sampai mengucek matanya beberapa kali, khawatir dia disleksia mendadak dan hanya kata ‘Lee Jeno’ saja yang dapat di bacanya. Sulit dipercaya, Jeno mengiriminya pizza lagi. Dia masih mengincar Jaemin.

Sejujurnya Jaemin tidak masalah diberi pizza. Yang dikhawatirkannya adalah, suatu hari nanti Jeno akan membunuhnya, sama seperti Jeno membalas dendam pada teman-temannya di sekolah. Jaemin tak habis pikir, mengapa harus dia yang diincar Jeno? Berteman dengannya saja tidak.

Karena Jaemin ketakutan, dia tidak memakan pizza itu dan langsung pergi tidur. Bahkan paper yang belum selesai pun tidak dilanjutkannya.


***

Pukul 7 pagi waktu Paris, Jaeminsedang bersiap-siap menuju kampus. Dia akan melanjutkan paper-nya di kampus saja. Lagi pula jadwalnya dimulai pukul 10. Tiba-tiba ada yang memencet bel flat-nya.

“Ck, hyung kenapa datang pagi-pagi begini, tidak biasanya,” gumam Jaemin sambil berjalan ke arah pintu.

Jaemin sangat terkejut dengan sosok Lee Jino di depan pintu flat-nya. Tidak disangka, laki-laki tersebut juga mengetahui flat barunya.

Hold up!!! Atau aku akan menelepon polisi!” teriak Jaemin dengan sedikit gemetar.

“Diamlah! Dengarkan aku bicara!” ucap Jino.

“Bagaimana kau bisa ta—”

“Dengarkan aku!” Jino memotong ucapan Jaemin.

“Aku tak punya banyak waktu. Jadi cepatlah,” sahut Jaemin gugup.

“Apa yang kau lakukan di pemakaman? Untuk apa kau datang?” tanya Jino seketika.


Jaemin paham yang dimaksud ‘pemakaman’ oleh Jino. “Kau yang memberikan alamat itu padaku, kan? Dan kau juga yang menyuruhku ke sana.”

Jino menampakkan seringainya. “Ku kira pecundang sepertimu tak akan pernah datang,” remehnya.

Dalam hati Jaemin mengumpati habis-habisan keluarga aneh Jino. Ayah dan anak sama saja, senang mengatai orang lain.

“Aku datang untuk menjelaskan tentang Jeno,” ucap Jino.

Jaemin mengerutkan dahi. “Baiklah.”

“Aku mulai saat Jeno meninggal. Pasti kau sudah mendengar dari ayahku Mr Lee, Jeno meninggal karena sakit dengan kasus bullying oleh teman-teman di sekolahnya. Dia meninggal ketika usianya delapan belas tahun, tiga tahun lalu. Sekarang jika dia masih hidup, usianya sama denganku, dua puluh satu tahun. Kami memang seperti anak kecil, jadi orang-orang mengaggap usia kami masih sangat belia.

“Saat usia empat belas tahun, Jeno memiliki kekuatan aneh—sangat aneh—seperti menggerakkan pensil dengan tatapan, melihat masa depan, dan lain-lain. Waktu itu karena masih kecil, dia belum mengerti apa-apa, jadi dia menggunakan kekuatannya untuk hal-hal yang tidak baik sampai dia di-bully teman-temannya.”

Jaemin mendengarkan penjelasan Jino dengan teliti.

“Ketika aku berusia pertengahan sembilan belas tahun,” lanjut Jino, “Jeno muncul dan meminta untuk masuk ke tubuhku, dan aku menerima itu. Tapi ternyata itu tidak baik. Jeno menggunakan tubuhku untuk balas dendam pada teman-temannya. Begitulah ceritanya. Jadi kami memang dua jiwa dalam satu tubuh. Yang menerormu itu Jeno, meskipun tubuhku yang melakukan itu. Aku minta maaf atas kelakuan Jeno.”

“Tapi kenapa dia menerorku? Aku tidak berteman dengannya,” akhirnya Jaemin angkat bicara.

“Aku juga tidak pernah tahu kenapa dia menerormu, yang pasti kata-kata terornya berbeda,” ungkap Jino.

“Berbeda dalam hal apa?” Jaemin tampak tertarik dengan obrolan pagi ini, tak peduli posisinya dan Jino masih berdiri di ambang pintu.

“Tulisannya,” jawab Jino. “Semua orang yang diterornya pasti bertuliskan, ‘Kau akan mati. Aku tidak menyukaimu’, tapi teror untukmu bertuliskan ‘Terima kasih’, dan seperti yang pernah kau terima selama ini.”

Jino melanjutkan, “sebenarnya, di samping balas dendam, Jeno juga mencari seseorang yang baik padanya.”

“Aku tidak pernah mengenal Jeno sebelumnya,” sangkal Jaemin. “Oh iya, kenapa pizza yang dikirimkan padaku?”

“Karena Jeno membawa pizza untuk orang baik itu. Sebelum meninggal, dia pernah ingin memberikan pizza pada orang yang baik padanya.”

“Jadi, Jeno menganggapku orang baik itu?”

“Iya.”

“Siapa nama orang itu?” tanya Jaemin penasaran.

“Na Jaemin.”

Jaemin sedikit tercengang. “Lucu...,” katanya kemudian tertawa pelan. “Kenapa namanya sama dengan namaku?” Aneh sekali. Ini kebetulan, atau apa?

“Aku juga tidak tahu,” Jino mengangkat bahu. “Bisakah kau membantuku untuk menghentikan teror ini? Aku sudah hampir gila, setiap ada teror pasti aku yang disalahkan,” ucapnya dengan raut wajah murung.

“Bagaimana caranya aku membantumu?”

“Coba kau balas surat dari Jeno. Ucapkan terima kasih atas pizza yang diberikan padamu dan kirimkan ke makamnya,” instruksi Jino.

“Kalau itu bisa menghentikan teror untukku dan teman-teman Jeno, baiklah aku akan melakukan itu.”

***


Sesuai janji, Jaemin menulis surat untuk Jeno. Masih dapat diingatnya dengan jelas wajah cerah Jino saat mendengar bahwa dia akan mengirimkan surat untuk Jeno. Jino juga tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih karena dia mau membantu Jino. Sepertinya selama ini Jino cukup tersiksa dengan keberadaan Jeno di dalam tubuhnya.

Jaemin menuliskan, ‘Terima kasih, Jeno-ssi. Pizza nya sungguh enak’. Kemudian dia mengirimkan suratnya langsung ke makam Jeno sebelum ke kampus.

Saat malam hari setelah makan bersama Mark, Jaemin menemukan surat di depan pintu flat-nya. Dia membuka surat itu dan membacanya,


Sama-sama. Selamat menikmati, temanku.

 
Lee Jeno.

 

 

Dan seketika itu, tanpa sadar Jaemin menitikkan air mata. Tak peduli dia dianggap cengeng, melankolis, atau apa, yang jelas dia sangat tersentuh dengan surat Jeno.

Ternyata, Lee Jeno sangat kesepian. Dia baru memiliki teman yang benar-benar dianggapnya baik. Jeno tidak akan tenang sebelum memberikan pizza pada teman baiknya.

Itu adalah surat terakhir dari Jeno untuk Jaemin. Setelah itu dia tidak pernah diganggu atau dikirimi pizza lagi oleh Lee Jeno. Teror sudah berhenti.




















                                                                         ~FIN~

[√] The Seeking SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang