Four

1.1K 139 0
                                    

Jaemin terengah-engah ketika menutup pintu flat-nya. Dia menghela napas lega karena berhasil lari dari Lee Jeno.

“Kau kenapa, Jae?” tanya seorang pria yang sedang menyiapkan makan malam di meja makan. Dia memandangi Jaemin yang bertingkah aneh.

Hyung...

Jaemin menyambar segelas air putih yang tersedia di meja makan dan meminumnya hingga tak bersisa.

“Kau ini kenapa?” Mark Na—Kakak Jaemin—kembali bertanya. “Kau buronan polisi, ya?”

“Yang benar saja!” sanggah Jaemin. “Aku terlalu tampan dan berintelijensi tinggi untuk menjadi seorang buronan polisi!”

Mark hanya terkikik mendengar jawaban Jaemin.

Hyung...,” ucap Jaemin setelah berhasil mengatur napasnya.

“Hmm,” gumam Mark yang kembali sibuk menyajikan makan malam.

“Kenapa kau datang ke flat-ku?”

Mark menatap Jaemin sekilas dan tersenyum. Dia tak menjawab pertanyaan adiknya itu sama sekali.

“Aku mengerti, kau mengetahui apa yang terjadi padaku, kan?” ucap Jaemin mengerti.

Mark Na sama seperti Jaemin. Dia seorang indigo yang memiliki intuisi tak kalah tajam dari Jaemin. Mark adalah ilmuwan berusia dua puluh satu tahun, saat ini sedang bekerja di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional di Paris. Kecerdasannya pun bersaing dengan Jaemin. Mark juga seorang polyglot di usianya yang masih terbilang muda. Dia mampu menguasai 8 bahasa dunia.

Sambil duduk, Jaemin menceritakan pada Mark mengenai Lee Jeno. Tentang Jeno yang benar-benar tak terbaca olehnya, tentang kiriman dari Jeno berupa pizza, tentang Jeno yang membenci manusia dan mengatakan bahwa dia sama dengan Jeno—semuanya. Jaemin menceritakan semuanya tanpa satu pun detail yang terlewat.

Tiba-tiba suara bel berbunyi nyaring. Jaemin bergegas membukakan pintu dan, seperti biasa, dia tidak melihat layar interkom terlebih dahulu.

Ketika membuka pintu, Jaemin tidak menemukan siapa-siapa. Hanya sebuah bingkisan. Sama seperti tempo hari. Jaemin pun membawa bingkisan itu ke dalam flat-nya dan menunjukkannya pada Mark.

Pizza. Dan kertas. Lagi.

Kau tidak sendiri, Na Jaemin’. Begitulah kalimat yang tertulis di atas kertas tersebut. Di bagian sudut bawah kertas tertulis sebuah nama: Lee Jeno.

“Lihat kan, dia benar-benar aneh, hyung. Aku jadi ingin bertemu lagi dengannya.”

Mark memperhatikan kertas itu dengan lekat. “Seaneh-anehnya dia, kau lebih aneh, asal kau tahu,” sahutnya. “Kau bilang bahwa kau takut padanya, tapi kau selalu ingin menelusurinya.”

“Benar juga ya, aku lebih aneh.” Jaemin menertawakan dirinya sendiri. “Mau bagaimana lagi, hyung, aku sungguh penasaran dengan anak itu.”

“Hm, dia hanya ingin membuatmu penasaran lalu akhirnya kau yang ganti mengejarnya.”

“Menurutmu dia hanya iseng?” tanya Jaemin dengan wajah skeptical.

Mark tidak menjawab pertanyaan Jaemin. “Makanlah dulu, ini sudah masuk waktu makan malam, kan?” katanya sembari menilik jam tangannya.

Jaemin menurut saja. Dia tidak protes pertanyaannya diacuhkan oleh Mark.

Seusai makan malam, Jaemin mengerjakan tugas dadakan dari profesornya dengan cepat. Malam ini Mark tidak pulang ke flat-nya, dia akan menginap di flat Jaemin. Setelah semua tugasnya beres, seperti biasa, Jaemin bermain game di laptopnya.

Tak terasa malam sudah sangat larut, namun Jaemin masih setia memandangi layar laptopnya yang menyilaukan itu. Sesekali terdengar pekikan tak jelas dari mulut Jaemin. Mark sampai terbangun beberapa kali karena mendengarnya.

“Aaaarrghhh!!!”

Sekali lagi, Mark mendengar jeritan Jaemin di malam buta seperti ini. Oh tidak, ini bukan malam lagi, melainkan pagi. Jam menunjukkan pukul 2 pagi waktu Paris.

Mark berkacak pinggang menghampiri Jaemin yang duduk di atas lantai berkarpet.

“Bocah!” seru Mark galak. “Jadi ini yang selalu kau lakukan tiap malam sampai pagi-pagi buta begini?” Mark menunjuk laptop Jaemin.

Jaemin menatap Mark dan tersenyum joker pada kakak satu-satunya itu. Lalu dia kembali berkutat dengan game-nya. Yah, memang dasar game mania.

“Tidur sekarang, Na Jaemin!” perintah Mark.

Jaemin tak mengindahkan kata-kata Mark sehingga dia dihadiahi Mark sebuah jitakan di pucuk kepalanya.

Hyung, sakit! rengek Jaemin sembari melindungi kepalanya, khawatir dijitak untuk kedua kali oleh Mark.

“Benarkah? Kau ingin lagi?”

“Ah, tidak!” jerit Jaemin. Dia kemudian menutup game-nya dan mematikan laptop—dengan terpaksa.

Mark duduk di sofa. “Kau tahu apa yang terjadi kalau seseorang kurang tidur?” kali ini nada suaranya melembut. Jaemin masih manyun dan terus memegangi kepalanya.

“Tahun 1959, seorang DJ dari Amerika bernama Peter Tripp, memecahkan rekor dengan tidak tidur selama 201 jam,” cerita Mark. “Tapi, semakin lama dia tidak tidur, dia mengalami halusinasi penglihatan dan pendengaran. Indranya juga semakin tumpul. Tiba-tiba dia berlarian di jalan, menganggap makanan sebagai obat, bahkan sampai menunjukkan gejala kelainan jiwa.”

Jaemin menyimak Mark dengan seksama.

“Kalau kurang tidur, sistem imunitas akan melemah, dan kesehatan tubuh akan terganggu,” lanjut Mark. “Jadi sebaiknya tidurlah secara teratur selama 7 sampai 8 jam per hari,” nasihatnya pada Jaemin.

“Karena terus level-upgame-nya jadi tambah asyik saja, hyung,” ucap Jaemin.

“Aku mengertitapi kau juga harus tahu bahwa tubuhmu memerlukan istirahat,” sahut Mark sambil mengelus surai hitam Jaemin dengan lembut.

Segalak apapun Mark pada Jaemin, namun dia tetap orang yang paling memperhatikan Jaemin selama di Paris. Dialah hyung yang menjadi seorang sahabat sekaligus keluarga bagi Jaemin. Jaemin tahu Mark sangat menyayanginya.

“Baiklah, aku mengerti,” kata Jaemin kemudian beringsut naik ke sofa dan berbaring dengan menumpukan kepalanya di atas pangkuan Mark.

“Tidurlah.” Mark mengusap-usap rambut kepala Jaemin hingga adiknya itu tertidur.

[√] The Seeking SoulWhere stories live. Discover now