Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

3.1K 160 0
                                    

Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Part 5

Begitu melihatku, Papa dan Bunda langsung menyembunyikan kertas yang dipegang. Papa menyalakan tv sedangkan Bunda masuk kamar.

"Papa dengan Bunda kenapa sih, aneh?"

Tapi Papa diam saja, tak ada senyum di wajahnya, bahkan tak membalas ucapanku. Sementara Bunda yang biasanya dengar adzan langsung mengajak kami sholat hanya diam, katanya sedang tidak boleh sholat. Mungkin itu urusan orang dewasa, jadi aku pun tak peduli, langsung masuk kamar.

Setelah ganti celana pendek dan ambli sarung, karena mau ikut jamaah di mushola baru dekat rumah, aku pun pergi setelah pamit ke Papa. Selesai sholat duduk  sama teman-teman yang asyik main handphone masing-masing sambil menunggu jamaah sholat isya.

"Rick, hape kamu mana?" tanya Romi, dia anak SMP. Katanya terkenal nakal, tapi selalu rajin jamaah, dia pun baik denganku.

"Disita ya, habis nonton anu-anu yaaa," tanya Ben menggodaku. Dia satu umur, hanya beda sekolah.

"Bukan disita, tapi takut, kemarin sempat lihat filmnya sebentar. Bikin pusing," jawabku jujur, langsung disambut gelak tawa teman-teman komplekku.

"Kamu pernah ciuman?" tanya Rio dengan mimik serius. Aku pun bergegas gelengkan kepala, lagi-lagi ditertawakan.

"Coba lihat punyamu, besar nggak?" Kali ini Ben langsung menarik celana. Tentu saja aku langsung menepis tangannya dan memasang kuda-kuda.

"Apa-apa ini, kamu ngajak berkelahi?" tantang Ben.

"Aku tidak nantangin kamu, kalian boleh tertawakan saya goblok atau kampungan atau apapun silahkan, tapi jangan main fisik," jawabku mulai waspada. Kalau berkelahi satu lawan lima aku masih bisa menang. Karena badan mereka kecil-kecil juga tidak ada yang bisa karate.

"Sudah-sudah, Erick tidak sama dengan kita, dia kan anak Mami. Stttt jangan jangan dia calon banci hahahaha." Kulirik Hans yang mencoba memancingku.

"Kalian ini! Kalau Erick tidak mau jangan paksa, sudah Rick, biarkan saja mereka. Tetaplah jadi anak baik, jangan ikut-ikutan yang salah," kata Romi sedikit keras.

Mendengar Romi bicara yang lain pun diam tak menggangguku lagi, kebetulan waktu isya sudah masuk. Kami pun bergegas kembali ke mushola.

Pulang dari mushola, tampak wajah Papa dan Bunda sangat tegang.

"Papa sama Bunda kenapa sich?"

"Duduk, Rick." Suara Papa bergetar menyuruhku, Bunda pun tiba-tiba menangis. Papa mengeluarkan surat dari pengadilan atau apa pun itu aku tidak peduli. Yang jelas karena selembar surat itu memutuskan bahwa aku harus ikut Mama. Tanpa meminta persetujuan Papa dan Bunda aku langsung menghubungi Mama dan bicara dengan loudspeaker.

"Hallo, ada apa, Rick?"

"Assalamuallaikum, Ma. Erick mau tanya, kenapa Papa dapat surat dari pengadilan? Mama mau Erick tinggal dengan Mama? Dengan keadaan Mama sekarang? Yang kadang tidak ingat kalau Erick itu ada?"

"Mama hanya ingin kamu adil, Rick. Mama juga inging menyayangi kamu," jawab wanita yang telah melahirkanku itu.

"Sekarang tidak usah bicara tentang Erick tinggal dengan Mama, jenguk anak satu minggu sekali saja tidak bisa. Kadang satu bulan sekali saja hanya satu-dua jam!" teriakku. Dan Mama terisak di seberang sama, sementara Tante Farah menepuk pundak, mengingatkan  agar aku tidak membentak Mama.

"Asal Mama tahu, baru dua hari tinggal dengan Mama aku bisa bebas membuka youtube dengan kontens dewasa, kalau satu bulan, satu tahun aku mau jadi apa, Ma?" kataku lirih. Kali ini aku benar-benar tidak bisa membendung rasa kecewa pada Ibu yang telah melahirkanku.

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now