Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

4.3K 331 33
                                    

Part 8

Kubiarkan pesan itu tanpa balasan, dan akan kubiarkan semua pesan masuk hari ini, terkadang lelah menjadi anak baik. Toh sebaik apapun yang kulakukan terkadang tak akan pernah dianggap baik.

Aku matikan ponsel, tidak dengan Bayu, dia malah sibuk chat anak-anak cewek.

"Rick, kamu mau ketemu anak-anak SMA? Ceweknya cakep-cakep, sudah mahir ciuman, ayolah kali ini saja ya?" kata Bayu dengan wajah penuh permohonan. Dengan sedikit terpaksa aku iya kan permintaannya.

Kami pun pergi ke rumah Ica di sana ada beberapa anak SMA yang sedang bolos juga, ada satu cowok agak kemayu dan lima cewek. Semuanya asyik pegang rokok, tanpa basa basi, Bayu langsung mendekati Ica, dan dengan santainya mereka ciuman di depan kami.

Semua bersorak-sorak, apalagi si cowok kemayu, dia paling heboh, tiba-tiba perutku mual, ah aku tahu ada yang salah. Segera pamit sama Bayu, tak kuhiraukan teriakan mereka menyebut aku anak Mami, atau pengecut. Yah, bayangan tentang Romi dan Om Egi muncul di benakku.

Aku naik ojek dan pulang ke rumah, tampak Papa dan Bunda sudah menunggu, dengan khawatir. Aku tahu, karena ponsel kumatikan, wajar mereka cemas.

Tanpa bertanya dari mana atau kenapa, seketika tangan Papa terayun hampir menamparku, tapi Bunda mencegah. Entah apa yang ada di pikiran mereka, aku lelah.
Masuk ke kamar, kukunci, tak pedulikan panggilan Bunda dan gedoran pintu Papa.
Hanya ingin tidur, kalau perlu besok baru bangun.

Jam dua siang aku bangun, karena lapar, akhirnya berganti baju dan sholat. Di rumah sepi, Mbak Rah tampak sedang seterika, si kembar tidur. Papa ke bengkel sedang Bunda masih ke sekolah.

"Mbak Rah, anaknya nakal, nggak?" tanyaku sambil makan di depannya. Anak Mbok Rah laki-laki sudah SMA yang perempuan sudah menikah.

"Ya nakal, Mas. Kadang saya ya capek nasehatin, itu lho ... sering ikut-ikutan teman merokok, lawong uang saja masih minta kok sok-sokan merokok," jawab Mbak Rah dengan mulutnya mengerucut tanda kesal, tapi lucu.

"Suami Mbak Rah tidak marah?"

"Anak-anak itu mana takut sama bapaknya, lah gimana mau takut, dulu suami saya kan tukang mabuk sama judi. Tidak pernah urus anak-anak dengan baik, jadi ya sekarang anaknya tidak menaruh hormat." Tampak wajah Mbak Rah tiba-tiba sedih.

"Saya kalau lihat Mas Erick sayang sama papanya, suka iri lho. Kapan ya anak saya bisa seperti itu sama bapaknya," kata Mbak Rah lagi, kali ini matanya berkaca-kaca. Berkali-kali mengucek matanya.

Aku yang baru separo makan, jadi menyesal dengan pertanyaan bodoh tadi, kulanjutkan makan di dapur sambil merenungkan kata-kata Mbak Rah. Ah, entahlah orang hanya menilai apa yang mau mereka lihat.

Jam empat Bunda pulang, aku sedang bermain sama kembar. Tak lama Papa pun pulang, aku tahu saatnya aku menjawab pertanyaan mereka. Andai hidup seperti film detektif Conan, di mana dia bisa lakukan apa saja dan dia yang bertanya apa yang di lakukan orang dewasa.

Sehabis maghrib aku dipanggil Papa, Mbak Rah membawa kembar ke kamar. Aku seperti narapidana yang siap disidang, Papa jadi hakim dan Bunda entah jadi pengacara atau pembela.

"Kamu dari mana tadi?" tanya Papa dengan wajah datar tanpa ekspresi. Bahkan tak terlihat marah atau sedih, tapi suaranya berat dan aku tau itu artinya Papa kesal.

"Sengaja bolos, pingin ngilangin kesel, Pa."

"Kamu merokok?" aku tahu Bunda menemukan rokok yang lupa kubuang tadi.

"Iya, dan Erick tau kalau itu salah, Erick menyesal," jawabku, walau tak sungguh-sungguh aku ucapkan.

"Kamu kesal karena Kakek? Memangnya Kakek ada bicara apa sama kamu?" tanya Bunda pelan.

Maaf Mama, Aku Memilih BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang