Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

3K 155 0
                                    

Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

Part 6

"Rick, bagaimana kalau aku masuk pesantren? Yang di Jawa Timur? Tante Rina setuju, tapi Ayah keberatan," kata Rere.

Aku hanya bisa bilang terserah, walau rasanya berat lagi-lagi harus berpisah lagi dengannya. Tapi demi sekolahnya, aku harus memberi semangat. Kenaikan kelas dua, setelah mengikuti paket ujian SD, Rere pun masuk ke SMP di salah satu pondok pesantren ternama. Aku ikut mengantar dengan ayahnya Rere dan Tante Rina.

"Aku boleh memeluk kamu, Re? Nanti kalau sudah masuk sana, kita tidak boleh dekat-dekat," kataku. Semalam Papa yang memberitahu, kalau aku dan Rere sudah besar, sudah tidak boleh bersentuhan, bisa membatalkan wudhu.

Rere memelukku erat, kami menangis, menunggu enam bulan lagi untuk bisa bertemu dengannya. Sebenarnya masuk sekolah masih satu minggu lagi, tapi Rere minta dipercepat karena butuh pengenalan. Setelah melihat dia masuk, kami pulang. Sepanjang jalan tak ada yang bicara, aku hanya diam, mengingat masa kecil kami dulu. Bermain, berlari tanpa beban.

Malam baru tiba di rumah. Bunda langsung memeluk, "Rick, kita bantu doa, dan beri dukungan yang terbaik untuk, Rere." Hanya  mengangguk, ganti baju langsung tidur. Berharap besok pagi ada kebahgiaan lain yang menanti.

Jam lima pagi, seperti biasa bangun pagi, kali ini kami punya kebiasaan pergi jamaah subuh dengan Papa di mushola. Pulangnya sedikit memutar komplek sambil jalan pagi, biasanya Papa akan mengajakku bicara dari hati ke hati.

"Rick, kamu sudah punya atau teman perempuan?" tanya Papa pagi itu.

"Nggak ah, Pa. Erick tidak suka teman-teman cewek di sekolah."

"Kenapa?"

"Mereka genit, masak ceritanya cium-ciuman. Masih SMP, Pa. Katanya sudah main raba."

"Emangnya bu guru nggak tahu?"

"Ya nggak lah, Pa. Pinteran juga muridnya," jawabku tertawa.

"Kamu pernah dibully?"

"Secara fisik tidak, wajah juga tidak. Mereka segan sama Erick, Pa. Karena tahu Erick bisa karate, tapi sering diledek karena belum pernah ciuman sama tidak mau merokok."

Papa hanya menghela napas, kenakalan remaja sekarang agak menakutkan katanya, aku sependapat dengan Papa. Terkadang takut kalau di sekolah ada kegiatan, di mana ponsel bebas di bawa, dan rata-rata mereka main game, nonton video dewasa. Kalau tidak mengikuti gaya mereka akan dicap kampungan atau bahkan bisa dibully.

Kalau ikut kegiatan rohani sekolah, secara otomatis akan dibenci oleh mereka yang mengaku anak gaul. Apalagi di kelas dua ini diajukan untuk jadi ketua osis. Tapi kutolak, rasanya sedang tidak ingin terlalu membaur. Tidak mau banyak teman, saat ini hanya ingin sekolah seperti anak-anak lainnya.

"Tapi jadi ketua osis kan keren, Rick. Papa dulu ketua osis waktu SMA," kata Papa sambil mengusap kepalaku.

Ah, andai Papa tau, aku hanya tidak ingin dan tidak mau disukai banyak orang. Aku hanya mau disukai sama Rere, andai dia satu sekolah pasti tawaran itu aku terima.

"Kamu kenapa?"

Tidak kujawab pertanyaan Papa, tapi terus berlari ke rumah. Papa pun menyusul, karena masih libur, agak santai, hari ini rencana mau ikut Papa ke bengkel. Adik kembarku Alea dan Elena merajuk mengajakku main.

"Assalamuallaikum, Erick." Suara Mama, ah suara yang lama kurindukan.

"Waallaikumsalam, eh Mbak Sonya?" jawab Bunda kaget. Tapi langsung tersenyum senang melihat penampilan Mama.

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now