Maaf Mama, Aku Memilih Bunda

4.4K 346 13
                                    

#Tentang_Erick

Part 9

Pulang sekolah disambut kembar, yang langsung memeluk dan menangis. Kucium tangan Bunda dan memeluknya, berkali-kali wanita itu mengucapkan kata selamat ulang tahun juga kata rindu. Sementara Papa hanya memelukku dengan sangat kuat, tinggi kami hampir sama.

Malam itu kami makan malam di luar, sekaligus memberi surprise pada Papa Boy akan kehamilan Mama. Juga merayakan ulang tahunku. Melihat Papa dengan Bunda, juga Mama dengan Papa Boy begitu bahagia, entah kenapa hatiku malah sakit. Pamit ke toilet aku menangis di sana. Merasa bodoh, bersalah, kurang bersyukur tapi juga sesak.

Hampir sepuluh menit aku di dalam, akhirnya Papa mungkin merasa ada yang salah, menyusul ke toilet. Mendengar tangisku di salah satu toilet yang tertutup.

"Erick ... ini Papa," katanya pelan. Aku pun keluar, memeluknya dan meminta maaf. Tampak Papa juga menangis dan meminta maaf padaku. Katanya andai saat itu mau mengalah dan bertahan tentu aku tidak akan merasakan seperti saat ini.

"Tidak apa-apa kok, Pa. Erick hanya senang melihat Papa dan Mama bahagia," jawabku. Walaupun itu mengorbankan kebahagiaanku, kalau tidak berdosa mungkin boleh mendoakan Mama dan Papa kembali seperti dulu.

Malam itu aku tahu rasanya pura-pura bahagia dan tertawa. Untuk pertama kalinya aku harus bersandiwara, di hari ulang tahunku ke lima belas tahun.

Papa dan Bunda menginap di hotel selama dua malam, aku pun ikut tidur dengan mereka, kembar sangat senang bisa bermain denganku. Banyak sekali pertanyaan mereka, sementara Bunda dan Papa hanya diam saja, aku tahu ada yang salah. Tapi aku tidak mau bertanya.

"Rick ... kedatangan Papa dan Bunda ke sini, sebenarnya mau minta maaf mewakili Kakek." Selesai bicara wajah Bunda berubah sedih. Matanya berkaca-kaca.

"Kakek kenapa?" tanyaku heran juga bingung.

"Kakek sakit, sudah tiga hari ini selalu menyebut nama kamu, Bunda harap, Erick mau ikut kami ke rumah Kakek," jawab Bunda dan langsung menangis di pelukan Papa. Sementara aku tidak tau mau bicara apa. Antara senang mungkin mendengar kakek tua itu sakit, atau harus sedih karena tau si kakek merasa bersalah denganku.

Dengan seijin Mama akhirnya kami ke Bandung naik kereta, langsung ke rumah sakit, kondisi Kakek  makin parah. Tiba di ruang ICU, katanya aku disuruh masuk sendiri. Karena hanya diijinkan satu orang saja, bergantian yang boleh masuk. Diantar petugas, aku pun duduk di samping kakek.

Tampak kakek melihat kearahku, mulutnya tidak bisa bicara karena pakai masker oksigen. Tapi pandangan matanya ke arahku, seakan ada permintaan maaf terucap di sana. Kugenggam tangannya, kakek pun membalas walau sangat lemah. Berbisik di telinganya dan katakan kalau aku memaafkannya, semua yang pernah dia ucapkan sudah kulupakan.

Kakek ... Erick sudah memaafkan semuanya, sekarang kakek bisa pergi dengan lega, bisikku berulang kali di telinga kakek. Tampak abangnya Bunda masuk dan mengucapkan La ilaha illallah di telinga Kakek, tak lama Nenek pun masuk dengan Bunda baca ayat kursi. Sementara tanganku masih digenggam kuat oleh Kakek.

Ada lima belas menit kami merasakan ketegangan, rasa sesak dan entah apalagi yang kurasakan, pandangan Kakek hanya tertuju padaku.

"Iya Kakek, Erick maafkan Kakek, tidak mendendam, akan menyayangi Bunda," kataku sambil menangis, rasanya tatapan Kakek menghujam menusuk ke jantung. Mendengar suaraku Bunda juga Nenek menangis, juga Om tua.

Selesai aku bicara, ada airmata yang menetes di pipi kakek, genggamannya mulai melemah, melihat ke arah Nenek, Bunda juga ketiga anak lelakinya satu persatu, seakan pamit.

Jujur aku sangat syok, menghadapi sebuah kematian yang berlangsung tepat di mataku, dan itu benar-benar membuatku pusing. Hanya yang aku pahami, jangan menyimpan amarah cepat memaafkan, karena kematian dengan segala hal yang masih membebani pun akan terasa berat.

Maaf Mama, Aku Memilih BundaWhere stories live. Discover now