6

3.2K 422 105
                                    

'Shinsuke adalah salah satu target Otsutsuki.'

Hinata merengut pada suasana hatinya yang suram. Dia tidak pernah menduga jika musuhnya kali ini adalah orang yang sedang mengincar anaknya.

Langit diatas seakan runtuh, bumi yang dipijaknya serasa hancur. Hinata tidak tahu harus bersikap seperti apa setelah mengetahui fakta ironis tersebut. Dia tidak sekuat Naruto dan Sasuke. Dan tidak juga sepintar Shikamaru dan Sakura. Dia benar-benar terlihat sangat menyedihkan.

Tapi, memang keberuntungan sepertinya tidak pernah ada di pihaknya. Dia bukan orang yang beruntung dua puluh tahun yang lalu dan dia bukan orang yang beruntung sekarang.

Mungkin itu adalah hukum alam semesta.

Hinata menggelengkan kepalanya cepat. Dia kembali pada fokusnya. Melihat pada Ayahnya yang saat ini sedang mengamati dokumen dibalik meja. Tanpa sadar dia menghela napas.

"Apa ada masalah?" Hiashi bergumam pelan sebelum menatap putrinya yang duduk dengan kaku di depannya. "Apakah ada sesuatu yang kau pikirkan? Atau mungkin pelajaran yang aku berikan terlalu banyak menyita waktu mu?"

Hinata berkedip beberapa kali pada Hiashi dan bertanya-tanya apakah orang lain akan tersinggung dengan cara ayahnya menanyakan sesuatu. Dulu Hinata akan menganggap pernyataannya sebagai tusukan dan merasa takut.

Sekarang sebagai orang dewasa Hinata menyadari bahwa Ayahnya tidak bermaksud untuk menyakitinya dengan perkataannya. Namun dia serius dengan apa yang dia katakan. Ayahnya mungkin benar-benar khawatir ada hal lain yang penting dan membutuhkan perhatiannya. Tapi entah bagaimana saat Hiashi mengatakannya, itu terdengar manipulatif.

Itu adalah ketidakmampuan sosial yang menyakitkan, sebagian besar telah menguntungkannya dan membuatnya tampak brutal, jujur, dan ditakuti. Pada kenyataannya Hiashi hanyalah seorang pria tua yang canggung.

Sambil tersenyum sedikit gugup, Hinata menggelengkan kepalanya. "Tidak sama sekali, Otou-sama. Aku senang mempelajari apa pun yang kau ajarkan."

"Hm," Hiashi bergumam dan mengangkat matanya dari kertas di tangannya. Kemudian dia menurunkan dokumen itu ke mejanya dan menghela napas dalam-dalam yang terdengar berat. "Aku ingin kau mempelajari lebih dalam apa yang diperlukan untuk memimpin klan ini. Aku akan melakukan hal yang sama pada Hanabi, jika itu diperlukan." Dia menambahkan.

Sedikit mengerutkan kening, Hinata berkedip padanya, menerima dokumen yang Ayahnya ulurkan ke permukaan meja. "Maaf, Otou-sama. Apa aku belum menyerap pelajaranmu dengan baik?"

"Bukan itu," Hiashi bergumam dan dalam cahaya jendela yang bersinar di siang hari, alisnya yang tebal terlihat lebih lebat dari yang Hinata ingat. Itu terlihat lebih abu-abu. Hinata berhenti meneliti wajah ayahnya. Dia sedikit berjengit saat menyadari bahwa Ayahnya sudah menua.

"Hanabi sangat kuat." Ujar Hiashi setengah berbisik, dan Hinata merasakan kebutuhan yang tiba-tiba untuk melihat sekeliling, seolah-olah apa yang mereka bicarakan perlu tetap berada di ruangan itu dan tidak didengar oleh orang lain. Dia menahan dirinya untuk memindai ruang dengan byakugan.

Selama bertahun-tahun Hinata khawatir tentang perubahan yang terjadi dengan saudara perempuannya yang dulu sangat manis. Pelatihan tanpa ampunnya tidak memiliki tujuan. Hanabi adalah seekor harimau yang mondar-mandir di dalam sangkar yang terlalu kecil. Walaupun Hanabi sudah mencapai tingkat Chunin, Hanabi jarang sekali mengambil misi keluar desa karena larangan dari para tetua klan yang mengharuskannya berlatih dan berlatih. Hinata jelas tahu apa yang mereka inginkan dari Hanabi. Para tetua klan sangat menginginkan seorang pewaris yang kuat dan dapat diandalkan seperti Hanabi bukan dirinya.

"Mungkin terlalu kuat." Hiashi menambahkan dan matanya beralih ke anak tertuanya, ke orang yang sebentar lagi akan meninggalkan hak kesulungannya.

Tiba-tiba Hinata merasakan kebutuhan untuk berdiri dan meninggalkan ruangan. Hatinya mencelos. Perkataan para tetua yang merendahkannya lagi-lagi mengivasi otaknya.

in-betweenWhere stories live. Discover now