Bab 6 Rabu Rabu

1.4K 127 70
                                    

Jika memang keadaan sekarang memaksanya untuk mengembangkan rasa kagumnya, tidak jadi masalah untuk Vito. Bukankah memang sudah ia lakukan? Mengubah sedikit pribadinya, bukankah itu merupakan desakan dari rasa kagumnya terhadap Chika?

Mengubahnya sedikit tidak apa-apa 'kan? Jujur, masih ada sedikit trauma saat wanita yang dulu membuatnya bertekuk lutut pada yang namanya cinta, mencampakkannya begitu saja hanya karena dia sosok orang yang kaku. Suara lembut yang Vito sukai dulu, tiba-tiba meninggi, dan terasa memekikkan telinga, hingga sakitnya merembet ke hati dan menoreh luka.

"Aku tuh bawa kamu ya buat nemenin aku ngobrol sama temen-temen, ngebaur gitu loh. Sakit tau gak, tiap ketemu mereka, terus aku dicengin kalau pacar aku kayak mayat idup, diem doang. Emang kamu gak sakit hati apa dikatain kaya gitu?" Vito diam, dia masih menunggu lanjutan kata-kata dari kekasihnya itu di belakang kemudi.

"Capek aku lama-lama, malu juga punya pacar yang gak bisa memosisikan dirinya. Kamu tuh lagi kumpul sama temen-temen sebaya kamu yaaa... bukan sama kolega Papa kamu, luwesin lah," lagi, gadis di sampingnya ini masih berceloteh. Seperti mengeluarkan semua uneg-unegnya bersama Vito selama ini.

"Kalau gak karena kamu anak temen Papa aku, mana mau aku jadian sama kamu. Menarik aja gak," Vito menoleh cepat. Mendengar pernyataan itu mampu membuat dadanya seperti ditekan. Jadi selama ini, hanya Vito yang mencinta? Dia tidak?

"Persetan sama perjodohan!" Gadis itu menghembuskan nafasnya dengan kasar, menghempaskan punggungnya ke jok mobil milik Vito.

"Kalau memang kamu mau udahan, ya gakpapa, Mira. Saya gak bisa maksa kehendak hati kamu. Biar nanti saya yang jelasin ke Papa sama om," ucap Vito tenang. Padahal, hatinya terasa seperti ditusuk sekarang. Dulu dia juga enggan menerima perjodohan ini. Kepercayaannya terhadap cinta yang akan tumbuh secara perlahan membuat dirinya mengiyakan. Namun, sepertinya hanya dia yang cintanya bertumbuh, tidak dengan Mira.

"Bagus deh, gak kuat gue lama-lama jalan sama mayat idup kayak lo," Mira keluar dari mobil Vito dan membanting pintu mobil cukup keras. Hati Vito benar-benar retak sekarang –Ah mendekati hancur sepertinya. Mendengar Mira mengubah sebutan dia dan dirinya tadi, semakin membuatnya hatinya teriris. Tapi, dia juga tidak bisa menyalahkan Mira. Ini salah dia, salah dia yang sudah terlanjur jatuh hati pada Mira.

Vito belum paham bagaimana persifatan Chika. Tapi jika ia boleh menilai dari pertemuan pertama hingga hari ini, Chika adalah orang yang menyenangkan. Ia suka saat Chika cerewet menanyakan ini itu. Ia suka dia dengan mudahnya masuk dalam pembicaraan, ia suka dengan senyum Chika, suara Chika, cara makan Chika, dan satu yang paling Vito sukai, mata Chika.

Sesingkat itu dia bisa mengaggumi diri Chika. Tapi, ia tak mau gegabah, ia mau menyelami Chika lebih jauh, sebelum benar-benar menyimpulkan kalau dia jatuh hati dengan anak SMA itu.

"Ewhnakh bwangh, phanashhh huhhh," Vito menoleh saat Azizi tanpa permisi duduk di sebelahnya sambil membawa pisang goreng yang terlihat masih ngebul itu.

"Kamu bantuin mbah ti goreng pisang?" Azizi mengangguk, mulutnya masih sibuk mengunyah pisang yang masih panas itu.

"Lo lama sih perginya, jadi gue ikut bantuin mbah ti. Kak Lala sama Chika rusuh doang tadi,"

"Iya, tadi nungguin mbah kung ngawasin yang ambil ayam sampai selesai," Azizi mengendus-endus tubuh Vito sebentar.

"Bau ayam ternak lo bang! Mending lo langsung mandi deh," usul Zee yang langsung menyumpal kembali mulutnya dengan pisang goreng yang sisa sedikit.

"Nanti lah Zee, masih gerah,"

"Chika gak suka cowok bau loh, bang. Tiati aja," Vito menoleh cepat. "Yang Bener?" Zee mengangguk.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now