Bab 8 Penawaran

1.3K 128 51
                                    

Di balik kemudi, Vito berulang kali mencuri pandang ke bangku penumpang di samping dirinya, di mana Chika duduk. Gadis ini seperti biasa, tak henti-hentinya menanyakan hal yang terlihat asing di matanya. Hal yang sepertinya memang belum pernah ia temui di Jakarta. Pandangan gadis itu ia buang keluar jendela, seakan masih mencari-cari hal asing lagi.

Hari ini, Sabtu pagi menjelang siang, Vito mengajak pergi mereka –Chika, Azizi, dan Lala, ke alun-alun yang ada di kota ini. Setelah Jumat kemarin ia benar-benar menolak mengantar main ke mana-mana dengan alasan khawatir dengan kondisi Chika, hari ini dengan desakan Azizi dan keyakinan yang Chika berikan, Vito mau mengantar mereka jalan-jalan.

Tentu dengan bujuk rayu yang tidak mudah. Dalih besok akan pulang pun akhirnya meluluhkan Vito. Sebenarnya ia juga memiliki rencana mengajak mereka main. Namun, insiden demamnya Chika kemarin, membuat Vito membatalkan rencananya. Ia lebih memilih dicecar keluhan dari mulut Azizi, dari pada harus melihat Chika kenapa-kenapa.

Vito tersenyum, rasa khawatirnya ini, rasa apa sesungguhnya? Jika yang dikatakan Lala kemarin adalah benar, kenapa begitu cepat rasa suka itu tumbuh begitu saja di antara mereka? Apakah ini normal? Atau, ini hanyalah rasa semu? Apapun itu, apakah harus kita pahami dengan seksama? Bahkan, cinta itu bias, kenapa harus ada hal pasti yang menjadikan patokan untuk jatuh hati?

Melihat wajah samping Chika saja membuat Vito bahagia. Wajah itu yang akhir-akhir ini membuat Vito berbisik pada sunset di barat sana, bahwa keindahannya dikalahkan oleh sosok di sampingnya ini. Sosok yang sedang bergumam mengikuti lagu dari audio mobil yang Vito setel.

Kali ini memang mereka jalan-jalan tidak menggunakan motor, lokasinya cukup jauh jadi tidak mungkin mereka ke sana berboncengan seperti biasanya. Vito tak mau mengambil resiko. Jadi, dia putuskan untuk meminjam mobil sejuta umat milik kakeknya ini.

Well I found a woman, stronger than anyone I know

She shares my dreams, I hope that someday I'll share her home

I found a love, to carry more than just my secrets

To carry love, to carry children of our own

We are still kids, but we're so in love

Fighting against all odds

I know we'll be alright this time

Darling, just hold my hand

Be my girl, I'll be your man

I see my future in your eyes

Lagu milik Ed Sheeran menggema di dalam mobil. Lagu yang membuat Vito menurunkan kecepatan mobilnya demi melirik Chika yang sekarang ikut menyanyikan lagu itu lirih. Jika memang ditakdirkan, Vito ingin melontarkan lirik tadi untuk Chika suatu hari nanti.

Bukan tidak sadar sedari tadi dilirik Vito, tapi Chika memilih untuk menoleh ke arah Vito saat laki-laki itu telah kembali fokus ke jalanan. Memperhatikan Vito dari samping agaknya lebih baik dari pada pandangannya harus bersirobok dengan manik teduh milik Vito.

Kenyamanan dari pelukan Vito tempo hari, masih bisa Chika ingat dan rasakan. Ritme jantung yang mengalun begitu indah ke dalam gendang telinga, berhasil membawa Chika ke alam bawah sadar dengan bahagia.

"BEEEBIII AIM, DENSING IN THE–"

Dug

"Anjir!" pekik Azizi saambil mengusap-usap kasar kepalanya yang terkena pukulan botol mineral yang isinya masih lumayan banyak. Chikalah yang melayangkan pukulan itu ke kepala Azizi.

"Berisik weh, gak usah keras-keras nyanyinya!"

"Kak Lala ikut nyanyi gak lo pukul. Gak adil!"

"Dikutuk jadi abu gue nanti," Chika kembali memutar tubuhnya menghadap ke depan. Vito dan Lala hanya cekikikan melihat itu.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now