Bab 7 Rhythm

1.4K 138 43
                                    

Lala dalam matanya yang masih terpejam bedecak kesal. Pasalnya, dari beberapa menit yang lalu, ia sadar selimutnya ditarik oleh Chika. Berulang kali ia tarik, berulang kali juga Chika membalas menariknya. Terlebih jam-jam mendekati pagi adalah waktu terdingin dan paling enak untuk semakin membungkus diri di bawah selimut. Tapi kali ini dia benar-benar terusik. Dia pun bangun dengan rasa kesal kemudian menarik paksa selimut miliknya yang direnggut Chika.

"Merem aja rese dih, padahal dah ada selimut sendiri," Lala kembali merebahkan tubuhnya setelah berhasil mengambil kembali miliknya.

"Pa...," igau Chika. Lala awalnya cuek, tapi Chika kembali mengigau memanggil Papanya hingga lima kali kalau ia tak salah hitung. Lala pun bangun dengan malas, merasa tidurnya terganggu.

"Kangen bokapnya ini mah,"

"Astaga!" baru saja Lala ingin menepuk keras pipi Chika, telapak tangannya terlebih dulu dikejutkan dengan suhu tubuh Chika yang cukup menyengat itu.

"Chik, lo panas banget," lanjutnya dengan nada khawatir. Kantuk yang tadi masih hinggap kini telah menguap. Telapak tangannya kembali menyusuri wajah Chika, dari mulai dahi, pipi, hingga turun ke leher.

Lala yang tadinya bersungtut-sungut selimutnya direnggut, kini tanpa pikir panjang ia berikan pada Chika. Ia lapiskan selimut itu di atas selimut yang Chika pakai. Bagaimanapun Chika sudah ia anggap sebagai adiknya, ia tak mau Chika kenapa-kenapa, terlebih sedang jauh dari orang tua.

"Chika," Lala menepuk lembut pipi Chika beberapa kali, membuat anak itu membuka matanya dengan berat.

"Pusing?" tanya Lala lembut sambil menekan-nekan puncak kepala Chika. Chika membalikkan tubuhnya menghadap Lala yang ada di sampingnya. Tanpa menjawab, anak itu menarik lengan Lala dan memeluknya. Lalapun menurunkan tubuhnya, merengkuh tubuh Chika yang suhunya hangat itu.

"Lo panas banget, pusing gak? Gue ambilin minum anget dulu mau? Nanti gue tanya mbah ti deh punya paracetamol apa gak, paling juga udah bangun," Lala melepas pelukkannya kemudian turun dari tempat tidur meninggalkan Chika yang masih bergeming.

Lala menuju dapur, mengambil gelas lalu ia tuangkan air panas setengah gelasnya dan mengisi sisanya dengan air biasa. Saat berbalik ia mendapati Vito yang berjalan dengan muka kantuknya ke arah dapur.

"Udah bangun kamu, La?" Vito basa-basi. Dia mengambil gelas, mengisinya dengan air putih lalu meneguknya hingga habis.

"Males bangun jam segini sebenernya, tapi Chika badannya panas banget, ini gue lagi ambil air buat dia," balas Lala. Mendengar itu, beban berat yang tadi masih menggelayut di pelupuk mata Vito seolah putus, membuat matanya membulat sempurnya.

"Chika sakit?" tanya Vito memastikan. Wajahnya kini telah berubah khawatir.

"Iya, gak tau deh, padahal semalem gakpapa. Ya udah gue ke kamar dulu,"

"Saya boleh ikut?" Lala mengangguk mempersilahkan Vito untuk turut.

Lala memberikan gelas yang tadi ia pegang ke pada Vito, kemudian duduk di pinggir ranjang membangunkan Chika. Vito, mata lelaki itu terus memerhatikan bagaimana Lala membantu Chika untuk duduk. Wajah Chika terlihat sedikit pucat, hidungnya juga merah samar.

"Nih, minum dulu," Lala mengambil gelas dari tangan Vito. Laki-laki ini lantas duduk juga di pirnggir ranjang. Tangannya reflek memijat kaki Chika.

"Kenapa deh? Kedinginan angin semalem?" tanya Lala setelah Chika memberikan gelasnya lagi pada Lala. Perempuan ini terlihat khawatir pada Chika. Berulang kali tangannya mengusap lembut kepala Chika.

"Gue mimpi naik gunung, gunungnya erupsi, kak, tapi gak ada yang nolongin. Mana malah ada yang bagi-bagi melon," jawab Chika lirih. Dia melempar pandangannya ke tangan Vito yang masih memijat kakinya. Manik mata mereka bertemu sebentar.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now