Bab 9 Negoisasi Revolusi

1.3K 128 64
                                    

Di kamar, Lala sedang bersungut-sungut. Ia tengah menelfon Zee dengan perasaan jengkel yang bergumul. Berulang kali ia menghentak-hentakkan kakinya di lantai, ia sedang jengkel. Tak jarang pula tangannya yang bebas, ia gunakan untuk mengacak rambutnya. Bibirnya pun terus ia gunakan untuk meberondong Zee dengan kata-kata umpatan.

"Asli ya, kalau gak capek nih, sayang, udah aku samperin tuh si Chika. Hantem palanya biar agak pinteran dikit. Bego banget coba ih!" Cerocos Lala. Ia membanting tubuhnya ke atas kasur dengan kesal.

"Bego, bego, bego! Ini juga si Vito, gemes tau gak, pengen dah tuh nginjek lehernya,"

"Haha, gak abis pikir juga aku, beb. Terus gimana? Kamu kasih?" tanya Zee di seberang sana. Dia cekikikan tiada henti mendengar omelan Lala yang sebernarnya ia tujukan untuk Chika dan Vito.

"Kasih, tapi aku hina-hina dulu tuh dua orang sampe mendidih kepala aku, beb. Gak tau deh ini udah pada chattingan apa belum,"

"Ya udah dong, kamu jangan marah-marah mulu hehe. Tapi lucu deh kayaknya muka kamu sekarang,"

"Lucu terus emang Nabila ini, baru sadar?"

"Mulai deh, narsisnya,"

"Eh, tapi beneran deh, Zee, itu berarti mereka seminggu bareng tapi gak tukeran kontak gitu? Bisa ya, aneh. Si Vito ini gak tau cara sepik-sepik cewek apa gimana deh, heran aku tuh. Biasanya 'kan kalau mau PDKT yang paling diincer nomor hp. Kek kamu dulu, modus beliin aku pulsa, udahnya nomor aku dikantongin,"

"Gila ya, masih inget aja. Ya, bang Vito gak kepikiran kali, kak. Orang kemarin juga serumah, minta nomor hp buat apa coba? Kalau bisa ngobrol langsung," Lala menimang-nimang ucapan Zee. Dia membalikan tubuhnya, menarik satu bantal untuk menahan dagu.

"Iya sih. Ah tapi mah intinya mereka oon banget sumpah. Kalah sama anak SMP yang lagi PDKT, haha," ada nada menggoda di sana.

"Emang Azizi mantep banget dulu PDKTnya," balas Zee bangga.

"Modusnya banyak,"

"Ya namanya modus, kak harus gas pol. Kalau usahanya rata-rata nanti namanya Mean,"

"Haha apa deh. Udah ah, istirahat sana, besok kamu masih sekolah. Capekkan pasti?"

"Iya nih, sayang. Tangan aku pegel meluk kamu terus tadi di kereta,"

"Halah, kamunya juga suka aja, pake sok-sokan ngeluh. Dah ah, bye!" Lala menutup sambungan telefonnya. Ia beralih membuka chatt Chika yang belum ia baca. Di sana, ucapan terima kasih berulang kali Chika lontarkan, entah dengan kalimat, ataupun stiker-stiker lucu. Tak Lala balas, ia masih gemas dengan sepupu pacarnya ini.

*

Di meja makan, Chika terus kepikiran tentang kontak Vito yang tadi ia minta dari Lala. Dari sebelum mandi, sampai sekarang ia belum berani mengirim pesan ke laki-laki itu. Ia masih ragu, ragu memulai chatt harus bagaimana.

Masa nanyain kabar? Jelas-jelas tadi baik-baik aja. Gila ya, Cuma mau ngechatt aja pusing banget pala gue

Dengan kasar, dia memasukkan makananya ke dalam mulut, hingga menimbulkan gesekan antara sendok dan gigi hingga menimbulkan sedikit suara yang membuat ngilu untuk sebagian orang. Chika kini sedang benci dengan dirinya yang pengecut seperti ini.

Chika tak pernah berpikir ini akan terasa begitu sulit untuknya. Kalau ditanya dia senang atau tidak, karena memiliki perasaan yang cukup asing bagi dirinya ini, dia pasti jawab, dia senang. Hanya, dia tak pernah menyangka, jika untuk melakukan apapun yang berhubungan dengan Vito jadi serba sulit seperti ini. Ia masih malu dan ragu, didukung pula dengan rasa gugup yang terus berdegup di dalam sana.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now