Bab 15 Pemulihan Jiwa

1.5K 140 99
                                    

Bolehkah menggerutu pada sorot sinar yang dengan lancangnya menembus hingga retina mata sana? Pasalnya, cahaya matahari itu, telah membuatnya terpaksa menarik seluruh kesadarannya hingga ia harus membuka mata secara penuh dan menyapa pagi yang kadang terlihat mengesalkan untuk beberapa orang.

Dia mengerjap beberapa kali, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Tidurnya malam tadi, berasa begitu panjang, sangat bahkan. Bayangan-bayangan mengenai yang ia tulis, begitu rapi bermain di mimpinya. Atau itu bukan mimpi –ah memang bukan, dia hanya rindu, sampai –fiksi saja bisa begitu nyata merasuk dalam lelapnya.

Tadinya ia ingin menggerutu pada cahaya yang menyusup gorden kamar ini, tapi melihat perempuan yang masih mengatupkan kelopak matanya rapat di hadapannya sekarang, ia memilih tersenyum. Ia memilih tersenyum begitu manis sambil membelai lembut kepala dan mengecup dalam kening perempuan ini, hingga membuat dadanya bergetar dan air matanya merembes keluar begitu saja.

"Pagi sayang," sapanya lembut.

Bayang-bayang mengenai karangan imajinatif itu terus berputar di otaknya. Hingga tanpa ia sadari bayang-bayang itu telah mengejek kehangatan dari cahaya pagi yang masuk lebih banyak ketika ia membuka jendela lebar-lebar. Bagaimana sorot cahaya pagi tidak merasa direndahkan, kalau nyatanya cerita fiksi yang terus berputar di kepalanya lebih bisa membuat sengatan hangat yang menjalar dari dada hingga ke semua sudut badan, dari pada cahaya matahari pagi itu sendiri.

Belum ada niatan untuk membangunkan teman tidurnya. Ia lebih memilih melangkah ke arah nakas, meraih gelas yang isinya tinggal setengah lalu ia teguk hingga tandas.

Dia tak lantas pergi, pandangannya ia jatuhkan ke atas ranjang yang masih dihuni oleh salah satu sosok bidadari yang Tuhan diizinkan untuk turun dan bahkan menemainya sekarang ini.

Di dalam lelapnya, wajah ayu itu terlihat begitu tenang, begitu menenangkan.

Dia tersenyum sekilas sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk sekadar cuci muka dan menggosok gigi.

Saat ia kembali, perempuan itu belum juga membuka matanya. Padahal sinar matahari semakin memenuhi ruang kamar mereka.

Apa tidak silau? –pikirnya.

Tadinya ia berniat keluar kamar, membuat secangkir kopi dan susu untuk dibawanya ke kamar dan disesap bersamaan di balkon seraya berjemur sejenak. Tapi ternyata, makhluk yang masih bertahan di bawah selimutnya itu, lebih menarik perhatiannya.

Tanpa berniat membangunkan, dia kembali membaringkan tubuhnya dan mengamati dalam diam, wajah yang terlelap itu.

"Cantik," katanya sambil menyingkirkan rambut yang jatuh menghalangi muka ayu bidadarinya ini.

Dia masih tidak percaya, dia masih saja selalu ingin menangis seperti tadi jika menatap sosok di depannya ini. Sosok yang selalu ingin ia lindungi hati dan fisiknya. Sosok bermata magis yang selalu membuatnya jatuh dalam tatap indahnya. Sosok yang selalu ingin mendekap dan mendengarkan ritme jantung miliknya.

Memperhatikan muka Chika yang sedang terlelap seperti ini malah membuat otaknya kembali mengingat saat pertama kali ia mendapati Chika tidur di kereta. Membuat Vito kembali mencoba mengingat pada halaman berapa momen itu ia jabarkan.

Diusapnya lembut pipi Chika menggunakan punggung tanganya. Sangat lembut, hingga mungkin hanya seperti gesekan angin yang menerpa rambut-rambut halus pada permukaan kulit. Vito memang tak ingin mengganggu tidur nyenyak Chika.

"Yessica Tamara," lirihnya.

Dia tidak perah membayangkan nama itu yang sekarang selalu ada di dalam setiap doanya. Nama itu yang selalu membuat hatinya bergetar ketika diserukan dan bergema ke telinganya. Nama yang membuat dia akhirnya menerka-nerka bagaimana sosok Chika saat itu.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now