Bab 1 : Good Morning

37.5K 2.7K 53
                                    

Aku membuka mataku dengan kaget. Semalam aku bermimpi aneh dan absurd. Tapi aku tidak ingat mimpi apa. Aku melihat jam di handphoneku yang menunjukan 05:00 WIB.

Jam 6 aku harus ada di kantor karena acaraku mulai jam setengah tujuh. Aku bergegas ke kamar mandi. Setelah sekitaran dua puluh menit aku keluar dan memakai bajuku yang sudah aku siapkan sebelum aku tidur.

Setelah dandan merasa diriku sudah fress aku siap berangkat. Aku membuka pesan wattsapp ada pesan dari ibuku. Yang mengingatkanku untuk tidak lupa sarapan.

Aku keluar sambil membaca pesan. Aku merasa ada yang lewat di sampingku dan ternyata itu tetangga baruku. Baru dalam hal aku baru mengetahuinya padahal dia lebih dulu tinggal disini dari pada aku.

"Hei...?" Sapaku. Karena aku tidak tahu namanya yasudah aku panggil seperti itu saja. Dia menoleh sepertinya dia mau lari pagi.

"Maaf untuk tadi malam." Kataku sopan dan tersenyum. Dia hanya menatapku dan menunduk lalu ingin pergi lagi.

"Eh tunggu." Kataku mencegahnya.

Dia berhenti dan tetap menatapku dengan wajah juteknya.

"Namaku Lana Shafira, namamu siapa? Setidaknya aku tahu namamu karena kita tetangga." Ucapku mencoba untuk sopan.

Dia masih menatapku. Dia kenapa sih kok lihatin aku terus.

"Juna." Singkatnya. Hanya itu. Dia tidak memberi tahu nama lengkapnya.

"Oh baiklah, karena kita sudah tahu nama kita masing-masing aku duluan." Kataku pamit dan berjalan ke arah pintu tangga.

Oh, tangga lagi. Belum sarapan dan harus menuruni puluhan anak tangga. Tidak apa, sekalian olahraga di pagi hari. Aku menuruni tangga dengan sambil bernyanyi. Tak terasa aku sudah sampai di bawah. Dan kamu tahu apa yang menyebalkan? Ketika aku melewati pintu lift nampak tetanggaku yang bernama Juna itu ada di dalam lift. Loh, kok liftnya bisa di pakai.

Dia melewatiku dan aku masih lihat dia sedikit menarik sudut bibirnya. Wah, sepertinya dia memang sengaja.

"Juna kenapa kamu tidak bilang." Teriakku padanya. Lumayan, sekalian tes vocal di pagi hari.

Juna berhenti dan menoleh ke belakang dengan santainya dia bilang. "Kau tidak bertanya?" Jangan lupakan dia mengangkat satu alisnya dan itu terlihat keren.

Seketika aku terbungkam. Benar juga sih, kan aku tidak bertanya. Karena aku perempuan aku merasa egoku sedang tinggi dan tidak mau kalah dalam masalah debat. Lebih tepatnya mengomel. "Dan kenapa kamu tidak bilang?" Kataku bersedekap.

"Aku ingin memberi tahumu tapi sepertinya kau terlalu semangat untuk menuruni tangga. Hitung-hitung berolahraga." Ucapnya sambil berlalu pergi.

Hah? Aku membuka mulutku tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan padaku. Setidaknya dia kan bisa mencegahku. Aku mengepalkan tanganku dan meninjunya di udara dengan kesal.

Aku menghirup udara yang masih segar ini dengan baik lalu membuang nafasku dengan pelan. Membuang rasa kesalku pada tetangga judes dan jutekku itu.

Jangan marah Lana. Ini masih pagi. Awali harimu dengan senyuman. Keep smile.

❤❤❤

Acaraku di mulai pukul setengah tujuh sampai setengah delapan. Selama satu jam aku menyapa rakyat Indonesia untuk memulai harinya. Acara berita yang aku bawakan tidak selalu tentang politik dan kriminal. Tapi bisa berita tentang musik, kuliner, budaya dan wisata. Anything about Indonesia. Karena berita yang aku bawakan bernama Sapa Indonesia Pagi.

Di acaraku ada 3 orang pembaca berita. Dua orang perempuan dan satu orang laki-laki. Dan semuanya belum ada yang menikah. Masih available. Tentunya aku yang paling muda di antara mereka. Jadi aku di perlakukan khusus. Berbeda sekali ketika aku di rumah. Karena aku yang paling tua jadi aku yang sering mengalah. Aku mempunyai adik laki-laki yang sekarang masih kuliah di  tahun pertama.

Kami berdua jarang bertengkar tapi yang namanya saudara pasti ada tengkarnya juga. Dia kuliah di kotaku. Sebenarnya dia ingin kuliah di kota ini dan tinggal bersamaku. Tapi ibu melarangnya dengan alasan dia akan merepotkanku karena meskipun adikku laki-laki dia orangnya rentan sakit. Berbeda dengan diriku yang kebal dengan sakit.

Aku menyapa para kru Sapa Indonesia Pagi dengan senyuman. Setidaknya aku melupakan kejadian tadi sebelum aku berangkat bekerja. Mempunyai partner yang menyenangkan itu sudah bersyukur sekali dan itu yang membuatku betah kerja disini. 

Rekan kerjaku belum datang, aku memang yang sering datang lebih awal ketimbang mereka berdua. Mas Dirga, produser yang menangani acaraku tersenyum menyapaku.

"Pagi Lana, seperti biasa kamu yang datang lebih awal." Katanya tersenyum manis padaku.

"Iya Mas." Kataku menunduk sopan.

"Sudah sarapan?" Tanyanya.

Aku menggeleng. Mas Dirga mau berkata lagi tapi dua rekan kerjaku datang berbarengan. "Kenapa Mas? Mau traktir kami sarapan?" Tanya Riki. Mas Dirga hanya tersenyum dan mengangguk.

Mas Dirga pria yang berumur 32 tahun. Pria yang berdiri di depanku ini sangat ramah sekali dan mudah berbaur. Dia memang pemimpin yang mengayomi dan sepertinya tipe suami idaman. Dia memiliki postur tubuh yang proposional dengan tinggi 178 cm dan tentunya sudah mapan.

Karena acara kami akan segera di mulai kami menghentikan obrolan kami. Bersiap-siap untuk melakukan siaran langsung.

Setiap aku memulai pekerjaanku aku tidak lupa untuk berdo'a dan mengingat wajah ayah dan ibuku yang tersenyum padaku dan pastinya sedang menontonku. Mereka bertiga tidak lupa untuk menghidupkan TV setiap pagi untuk melihat putrinya sedang melakukan siaran langsung.

Aku tahu meskipun aku hanya bekerja sebagai pembawa berita di stasiun televisi swasta tapi aku tahu mereka bangga terhadapku karena aku bisa masuk tv. 

Memulai do'a dan mengingat wajah kedua orang tuaku yang tersenyum akan membuatku lebih rileks. Meskipun aku sudah hampir 2 tahun bekerja disini tapi tetap saja aku melakukan hal sederhana ini tapi hasilnya luar biasa untukku. Setidaknya aku menimalisir kesalahan seperti salah pengucapan misalnya.

Setelah satu jam membawakan berita akhirnya hari ini berjalan lancar dan tanpa kendala. Share dan rating acaraku lumayan bagus akhirnya bisa bertahan tiga tahun ini dan aku baru bekerja dua tahun ini. Kenapa aku bisa bekerja disini karena aku tidak sengaja bertemu dengan Mas Dirga di kafe dan dia menawariku pekerjaan ini. Senang sekali waktu itu aku memang lagi bingung mencari pekerjaan. Bisa dibilang Tuhan menolongku melalui Mas Dirga.

Siapa tahu jodohku melalui Mas Dirga juga, atau Mas Dirga ternyata jodohku. Aku bukan cewek munafik. Siapa yang tidak menyukai Mas Dirga. Mayoritas para kru disini yang perempuan dan yang belum punya pasangan bahkan kru program sebelah mengidolakan Mas Dirga. Dia lelaki idaman setiap wanita.

Terlepas dia menyandang status Duda. Tapi bukankah ada istilah Duren yaitu duda keren. Dia duda dengan satu orang putri yang berumur 5 tahun. Dia adalah Ayah yang keren. Dia sering membawa Della, putrinya ke sini kalau dia tidak terlalu sibuk. Aku tidak tahu kenapa dia bisa bercerai dengan istrinya padahal mantan istrinya cantik. Waktu aku masuk kerja disini dia sudah mendapat gelar Duren tersebut.

Mas Dirga menepati janjinya dia mentraktir kami bertiga untuk sarapan di toko roti sambil menikmati teh atau kopi. Waktu aku memesan roti pada pelayannya. Ada seseorang yang membuka pintu yang otomatis lonceng yang di letakan di pintu berbunyi. Seketika aku menoleh.

Dia laki-laki menyebalkan itu. Dia menatapku lalu seperti tidak saling kenal dia tidak menegurku ataupun tersenyum. Padahal dia tidak punya hutang padaku. Biasanya kan orang yang punya hutang sama kita sikapnya akan seperti si Juna itu, dasar Mr. Jutek yang menyebalkan.

❤❤❤

Another couple😍

Hello, Mr. Jutek Where stories live. Discover now