Bab 8 : Hubungan tanpa Status

23.3K 2.4K 92
                                    

Setelah aku mengatakan itu Juna bergegas untuk kembali ke apartemennya. Sedangkan aku dan adikku melanjutkan planing kami. Aku mengajak adikku ke Mall dan dia meminta untuk dibelikan sepatu dan beberapa kaos setelah itu kami makan siang di restoran.

Kami pulang setelah makan siang. Istirahat sebentar lalu bersiap untuk pergi ke bandara. Waktu kami membuka pintu ada Juna yang sedang berdiri mematung. Sepertinya ada yang ingin di sampaikan.

Ada rasa tidak nyaman aku kepada Juna. Tapi berulang kali aku mengatakan pada diriku kalau diriku benar. Juna memang tidak pernah mengatakan dia menyukaiku. Bahkan mengatakan Kamu mau jadi pacaraku saja tidak pernah. Aku masih punya daya ingat yang kuat. Aku belum pikun.

"Oh bang Juna." Hingga adikku sendiri yang menyapa Juna.

Juna hanya mengangguk dan kembali menatapku. "Pelakunya sudah ada di kantor polisi." Ucap Juna menatapku lekat.

Dan yang kurasakan saat ini adalah lega bercampur takut. "Kamu ingin melihat pelakunya? Aku akan menemanimu." Ucap Juna yang mengerti akan kegelisahanku.

"Aku ikut." sambar adikku.

Aku mendelik ke Dika. "Kamu harus balik." Ucapku tegas. Karena besok dia harus kuliah dan supaya tidak membuat khawatir ayah dan ibuku jika dia berlama-lama disini.

"Tapi kak."

"Balik." Kataku tidak mau dibantah. Dan Dika akhirnya menurut. Kalau aku membelikan sesuatu padanya dia akan menjadi adik yang penurut.

"Iya aku mau ke kantor polisi. Tapi aku mau anterin Dika dulu." Kataku pada Juna.

"Kalau begitu pakai mobilku saja." Tawar Juna.

"Baiklah." Akhirnya aku menuruti permintaan Juna. Kami mengantarkan adikku terlebih dahulu ke bandara.

"Jaga diri yaa kak." Ucap Dika padaku ketika kami saling berpelukan. Kalau seperti ini Dika sangat manis.

"Abang Juna. Titip kakakku yaa." Ucap Dika pada Juna. Aku melotot pada Dika. Memangnya aku barang yang dititip-titipin. Aku melirik Juna yang tersenyum pada Dika.

Susana dalam mobil sangat berbeda ketika ada Dika tadi. Kami hanya berdiam diri dan aku menyiapkan mentalku untuk bertemu dengan pembunuh Rena. Entahlah aku mendengar kata pembunuh saja membuatku parno saja.

Selama dua hari aku tidak mau menonton berita. Apalagi berita kriminal. Aku hanya sedang menata hati dan mentalku untuk segera pulih. Untuk tidak menjadi trauma.

Ketika sudah sampai depan kantor polisi aku tidak lekas turun aku masih meremas kedua tanganku yang tiba-tiba menjadi dingin. Mataku terarah pada kantor polisi yang masih di kelilingi wartawan.

Ada sebuah tangan yang menggemgan tanganku. Aku menoleh. Juna sedang tersenyun padaku.

"Ada aku." Ucapnya yang sepertinya mengerti keadaanku.
Aku mengangguk mendengar perkataan Juna. Rasa aman dan nyaman itu datang lagi. Juna turun dari mobil akupun tak lekas membuka pintu.

Di lain sisi aku belum siap. Tapi aku ingin melihat wajahnya secara langsung. Tapi aku takut. Di otakku selalu muncul bagaimana pelaku itu menutup wajah Rena dengan bantal sampai tidak bisa bernafas lagi.

"Lana." Panggil Juna. Dia sudah membuka pintu mobil yang ada di sampingku dan mengulurkan tangannya padaku.

"Tidak apa. Aku akan menjagamu." Ucapnya menenangkanku.

Aku menerima uluran tangan Juna dan Juna menggemgam tanganku erat. Para wartawan sudah pulang karena pak polisi sudah melakukan press conference untuk memberi tahu pelaku pembunuhan beserta motif dan kronologinya.

Hello, Mr. Jutek Where stories live. Discover now