Bab 2 : Kita Teman

28.5K 2.5K 41
                                    

Juna membayar pesanannya. Dia lalu berjalan ke meja dekat kaca dan meneguk kopinya dengan elegan. Wah dia benar-benar seperti tidak mengenaliku.

"Lana, kamu kenal dengan dia?" Tanya Mas Dirga. Sepertinya dia tahu kalau aku memerhatikan Juna dari tadi.

"Iya, dia tetanggaku Mas." Jawabku jujur.

"Dan kamu gak tahu siapa dia sebenarnya?" Tanya Mbak Indira.

Aku mengkerutkan alisku. Memangnya dia siapa. "Gimana yang mau kenal mbak, orang aku tahu dia kemarin. Dia cuman nyebutin nama panggilannya. Dan Aku baru tahu kalau aku punya tetangga." Kataku sedikit kesal karena mengingat kejadian tadi pagi yang sudah membuatku kesal lagi karena tingkah Juna.

"Dia itu keponakan pak Chandra dari istrinya, ibu Syesil. Namanya Juna Wijaya Bagaskara. Sampai disini paham aku sebutin namanya?" Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan mbak Indira.

"Intinya dia dari keluarga konglomerat. Semua cowok di keluarga Wijaya emang gitu. Dingin tapi punya daya tarik sendiri."

Aku kembali melihat Juna yang asik sendiri dengan dunianya. Melihat dari segi pakaiannya meskipun sederhana tapi aku tahu dia memakai pakaian yang branded. Aku kira dia pengangguran.

"Aku kira dia pengangguran." Ucapku tanpa sadar dan sepertinya terdengar oleh Juna buktinya dia melihatku. Dan eksperesinya membuatku takut.

Ari yang berada di dekatku menyentil dahiku. "Kenapa sih kak?"

"Pengangguran mbahmu. Dia dari kecil udah punya uang sendiri. Tiap ulang tahun kado yang diterima dari kakek buyutnya yaitu cek yang sesuai dengan angka umurnya."

"Serius?" Tanyaku tak percaya.

"Iya." Mbak Indira yang menjawab.

"Sampai sekarang?" Tanyaku takjub.

"Enggak sampai dia umur 20 tahun?" Kini yang menjawab adalah Kak Ari. Sepertinya yang sudah bekerja di PCY media tahu semua tentang keluarga Wijaya atau Pradipta. Karena aku termasuk junior jadi harap maklum jika aku tidak tahu sama sekali tentang silsilah keluarga bossku. Boss tempatku bekerja saat ini.

"Sekarang umur berapa?" Kenapa aku jadi penasaran dengan tetanggaku itu. 

"Mungkin 27-28 tahun." Jawab mbak Indira.

"Oh sudah lumayan tua." Kenapa setiap kata yang keluar dari mulutku untuk Juna selalu buruk. Dari penguntit, psikopat, pengangguran dan sekarang tua.

Juna kembali melihatku dengan tatapan aneh. Mungkin dia memikirkan sama dengan apa yang kupikirkan. Dia sadar kalau kita berempat sedang membicarakannya. Sejak awal ketemu di mataku Juna sudah mendapat gelar buruk. Meskipun sepertinya dia tidak seperti itu.

"Ehem ehem. Kalau Juna tua bagaimana dengan saya Lana?" Ucap Mas Dirga yang mendapat senyuman usil dari kak Ari dan mbak Indira.

"Eh bukan gitu Mas. Saya gak bilang ke Mas kok." Kataku yang berubah jadi tidak nyaman.

Tapi Mas Dirga akhirnya tersenyum. "Gak papa saya memang sudah tua. Santai saja Lana. Saya tidak akan memecatmu." Ucapnya sambil mengacak rambutku.

Aku hanya cemberut mendengarnya. Jangan di pecat, cicilanku masih ada. Masih tinggal beberapa lagi yang mau lunas.

Belum lagi aku harus membantu kulih adikku karena ayahku tahun depan sudah mau pensiun. Ayahku seorang pegawai negeri kecamatan di daerahku. Jadi setidaknya aku mempunyai tabungan lebih untuk meringankan biaya kuliah adikku. Meskipun kata ayah, dia bisa membiayai adikku sampai lulus tanpa bantuanku.

Tapi, meskipun ayah menolak aku tetap memberikannya untuk jaga-jaga saja. Jika ada keperluan mendesak. Dan aku juga menyimpannya untuk diriku sendiri. Untuk di masa yang akan datang. Seperti biaya nikah. Di umurku yang sudah 24 tahun ini bagi perempuan Indonesia adalah usia yang cukup matang untuk menikah. Meskipun aku pribadi tidak terburu untuk menikah. Kedua orang tuaku juga tidak menargetkan aku untuk menikah di usiaku saat ini.

Hello, Mr. Jutek Where stories live. Discover now