Bab 7 : Pertanyaan Menjebak

23.5K 2.3K 69
                                    

Aku bergelung dalam selimutku. Ketika aku membuka mataku hal yang aku lakukan adalah mengecek handphoneku apa ada pesan dari Juna dan ternyata masih tidak ada pesan Juna yang masuk padaku. Satupun tidak ada. Hal kecil yang membuatku kesal sendiri dan uring-uringan sendiri. Jangan tanyakan kenapa aku seperti itu karena jawabannya aku juga tidak tahu.

Bahkan kemarin aku tidak melakukan apapun hanya di ranjang saja. Bekerjapun diranjang juga. Kecuali aku makan dan ingin mandi. Aku tidak semalas itu sampai makan di atas ranjang. Bahkan ketika sakitpun aku makan di meja makan.

Dari kemarin adikku terus memintaku untuk jalan-jalan. Yang benar saja aku kan lagi dalam suasana syok dan cuti dari kerja masak mau jalan-jalan. Dan jawaban Dika adalah. Dia tidak tega melihatku yang seperti orang linglung. Adikku yang durhaka.

Dika membuka pintu kamarku. Tadi malam dia tidur di sofa. Dan nanti sore dia akan kembali pulang. Aku akan mengantarnya ke bandara.

"Kak, ayo keluar dong jalan-jalan. Nanti aku udah mau balik." Ucap Dika sambil menarik kakiku. Aku menyingkap selimutku.

"Kakak itu lagi cuti dan baru besok masuknya masak mau jalan-jalan. Itu namanya tidak jujur." Kataku berkelit nyatanya bergelut dipagi hari dengan selimut adalah hal yang sangat jarang aku lakukan mengingat setiap shubuh aku harus sudah menyiapkan semuanya untuk pergi siaran langsung.

"Ayolah Kak, bangun mandi." Ucap Dika sambil mengguncang tanganku.

"Lagian rekan kakak pasti ngerti karena ada aku disini." Ucap Dika yang terus merengek padaku.

Aku menghela napasku dengan lirih. "Iya iya ayok." Kataku akhirnya turun dari ranjang. Dika tersenyum senang padaku.

Aku ke kamar mandi, karena Dika sudah mandi. Selesai mandi aku masih sempat bikin coffe. Karena adikku masih kembali ke kamar mandi. Dia bermasalah dengan perutnya. Suruh siapa dia memakan makanan yang di bawa teman-temanku kemarin. Bahkan lebih dari lima puluh persen Dika yang memakannya. Karena kemarin aku tidak berselera makan.

Suara bel rumahku berbunyi. Aku melihat ke layar cctvku. Ternyata Juna. Aku langsung membuka pintu apartemenku dengan raut wajah kesal dan nelihat Juna yang melihatku tanpa tersenyum.

"Kau kemana saja?" Hardikku.

Juna mengangkat satu alisnya kaget karena aku menghardiknya. Lagi-lagi aku berperan sebagai istri yang memarahi suaminya karena semalaman tidak pulang. Oh drama apa yang aku perankan saat ini. Dan anehnya aku terbawa perasaan dengan peran yang aku mainkan saat ini.

"Kamu kemana saja Juna? Seharian aku menunggumu tapi kamu malah menghubungiku malam harinya. Kau bikin aku kesal saja." Kata terus mengomel padanya.

Juna hanya mendengarkan omelanku dengan wajah menyebalkannya bahkan dia menarik kedua tanganya ke belakang. Sangat bersedia untuk mendengarkan omelanku. Dia bahkan melihatku dari atas sampai bawah.

Aku juga akhirnya melihat pada diriku sendiri. Aku hanya memakai kaos pendek, celana panjang, secangkir coffe yang aku pegang serta lilitan handuk di kepalaku.

"Juna kenapa kau begitu seharusnya kau minta maaf padaku." Kataku yang masih kesal padanya.

Dia lalu mengulurkan tangannya padaku. Juna memegang sebuah bingkisan. "Untukmu. Dari mama."

Aku melihat bingkisan yang di pegang Juna. Apa katanya dari mama?

"Kok bisa?" Tanyaku yang tidak mengerti padahal wajah mama Juna saja aku tidak tahu.

"Ambil saja." Pinta Juna yang terus mendesakku untuk mengambil bingkisan itu. Adikku menampakan wajahnya di belakangku. Dia ternyata sudah selesai dengan urusan perutnya dan menghampiriku mungkin karena mendengar kakaknya yang mengomel di depan pintu dan masih di pagi hari.

"Oh bang Juna." Sapa Dika. Juna hanya tersemyum. Sedikit. Dika melihat bingkisan yang sudah aku pegang.

"Bang Juna tahu, kak Lana seharian kemarin aauuu...." Dika meringis karena aku mencubit tangannya.

Dika menatapku kesal sedangkan aku melotot padanya. Aku akan mengusirmu kalau kau mengatakannya pada Juna. Begitula kira-kira pesan dari tatapan mataku dari adikku satu-satunya ini.

"Yasudah ayo makan. Itu makanan kan? Aku udah laper. Kak Lana gak tahu masak dapurnya cuman sebagai pajangan atau enggak buat story saja."

Wah ternyata adikku ini benar-benar tidak peka dan tidak berbakti pada kakaknya. Sontak saja aku ingin mencubitnya lagi tapi saat ini dia lebih gesit. Dika sudah kabur ke dalam dengan bingkisan Juna yang sudah diambilnya dariku.

Aku melihat ke Juna dia hanya memandangi tingkah kami yang mungkin menurut dia seperti anak kecil. Dia kan sudah tua maksudku umurnya dia kan lebih tiga atau empat tahun dariku. Yah lumayanlah.

Akhirnya aku mengajak Juna untuk masuk kedalam dan melihat Dika sudah makan terlebih dahulu tanpa menunggu diriku padahal aku kan lapar juga. Benar-benar Dika ini bikin malu saja.

Sebelumnya aku kembali ke kamarku untuk melepas lilitan handukku dan menyisir rambutku lalu kembali pada Juna dan Dika.

"Wah masakan mamanya bang Juna enak." Puji Dika sambil memasukan suapannya ke dalam mulutnya. Dia lahap sekali makan. Aku menjadi malu sendiri semoga saja Juna tidak berpikiran bahwa aku membiarkan adikku kelaparan.

Aku mulai makan dan tidak bicara. Biar adikku saja yang terus bicara. Kali ini aku merasa beruntung ada Dika disini jadi tidak terasa canggung. Aku mengunyah makanan masakan mama Juna.

"Wah ternyata memang enak." Kataku sumringah. Aku lihat Juna dia ternyata sedang melihatku juga. Bahkan dia tersenyum melihatku.

"Enak." Kataku mengulanginya. Dika bahkan menambah porsi makannya. Oh Tuhan, kenapa aku punya adik seperti Dika. Kadang aku beruntung memiliki adik seperti dia. Karena Dia cukup bisa dihandalkan tapi untuk saat ini aku merasa malu punya adik seperti dia.

"Maaf yaa bang, aku lapar. Kak Lana menelantarkanku. Pagi ini dia belum memberi makan padaku." Setelah mengatakan itu Dika langsung mengambil jarak padaku mengerti kalau aku akan mencubitnya lagi.

"Sakit tahu." Protesnya. Aku hanya melotot pada Dika. Setelahnya tidak ada drama lagi yang dibuat oleh Dika kami makan dengan tenang dengan Juna sebagai penonton kami.

Setelah makan aku membereskan bekas wadah dan ingin mencucinya. Tapi adikku tidak bisa tenang kembali dia bahkan menanyakan sesuatu yang membuatku sangat malu dan mampu menghentikan tanganku ketika ingin mengambil wadah bekas sisa makanan.

"Jadi, kalian sudah pacaran?" Tanya Dika. Aku tidak menjawab aku hanya melihat Juna yang sepertinya sedang menelitiku. Aku penasaran jawaban apa yang akan diberikan Juna pada Dika.

"Tanyakan pada kakakmu." Ucap Juna yang menatapku instens. Apa-apaan jawabannya itu kenapa melempar pertanyaannya padaku. Bukan hanya Juna yang menunggu jawabanku. Adikku Dika bahkan menunggu dengan penasaran.

Ya ampun aku harus jawab apa. Tapi kan aku dan Juna memang tidak pacaran. Kita tidak mempunyai hubungan romansa seperti itu. Memangnya kapan Juna menyatakan cintanya padaku? Seingatku tidak pernah. Bicara saja dia irit sekali. Seperlunya saja. Masak dengan percaya dirinya aku mengatakan kalau aku dan Juna punya hubungan. Aku seorang perempuan yang memiliki gengsi tinggi.

"Tidak. Kita hanya teman dan tetangga itu saja." Kataku tandas. Dika hanya mengangguk mendengar jawaban dariku. Tapi tidak untuk Juna. Aku tidak paham akan tatapan matanya padaku. Marahkah? Sedihkah? Atau kecewakah?

Jawabanku benar kan tidak salah?

🍁🍁🍁

Salah menurut Juna:)

Hello, Mr. Jutek Where stories live. Discover now