13

6.8K 591 112
                                    

"Aku......"

Adelia terdiam sejenak.

"Ngga apa-apa. Jawab apapun itu yang ada di hati kamu." kata Devanno.

"Maaf mas, keputusan aku udah bulat buat menceraikan kamu." tutur Adelia. "Menurutku kali ini kamu udah keterlaluan. Kamu udah menikah dengan wanita lain. Dan parahnya, hari disaat Aidan meninggal, istri kamu melahirkan."

"Aku minta maaf." kata Devanno.

"Aku juga minta maaf karena keputusan ini, udah ngga bisa aku ubah lagi."

Devanno menundukkan kepalanya sekejap, tapi kemudian ia tersenyum menatap Adelia.

"Ngga apa-apa. Aku terima keputusan kamu itu." katanya.

Setelahnya, Devanno berdiri. Menarik nafasnya dengan dalam.

"Masuk yuk. Kayanya mau hujan." ajak Devanno. "Aku beresin gelasnya dulu. Kamu duluan ke kamar aja." lanjutnya yang langsung pergi ke dapur dengan membawa piring dan gelas kotor yang baru mereka pakai.

Adelia menundukkan kepalanya. Ia menangis. Begitu pula dengan Devanno yang sengaja mengalihkan pikirannya dengan mencuci piring. Ia memegang erat wastafel pencuci piring hingga ruas jarinya memutih. Entah apa yang ada dipikiran mereka karena mengambil keputusan ini pada akhirnya. Masing-masing dari mereka sadar bahwa keduanya masih saling mencintai. Tapi Devanno pun sadar kalau saat ini perilakunya sudah diluar batas. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, Devanno harus menerima hukuman ini.

Pagi ini, Adelia membereskan baju-baju miliknya juga kedua anaknya. Tak lupa ia membawa serta mainan-mainan kesayangan El untuk ia bawa ke Australia. Ia sudah mengurus perlengkapannya untuk pergi kesana beberapa waktu lalu. Untunglah Vernon bisa membantunya.

"Mamam, kok mainan El diberesin?" tanya El.

"Iya. Kita bawa sebagian biar El bisa main dirumah om Vernon." jawab Adelia sembari membereskan.

"Kita mau kerumah om Vernon? Ayah ikut ngga, mam?"

Adelia menggeleng pelan, "Ayah kerja sayang. Jadi ngga bisa ikut kita." dustanya.

"El mau sama ayah aja. El ngga mau pergi."

"Terus yang jagain mamam sama adik siapa?"

Suara itu membuat Adelia dan juga El menoleh.

"Ayah, El mau sama ayah aja." rengek El.

Devanno berlutut menyamakan tingginya dengan El.

"Kemaren ayah bilang apa sama El? Ayah harus kerja. Selama ayah ngga ada, El harus jagain mamam sama adik gantiin posisi ayah. Ok?"

"Tapi kalo El kangen ayah gimana?"

"Hmm.. El bisa telepon ayah kan. Kita bisa video call." jawab Devanno memaksakan senyumnya. Sesungguhnya ia ingin menangis saat ini.

"Emangnya kenapa kita harus pergi sih, mam? Emang om Vernon ngga berani pulang sendiri ya?" tanya El polos ke Adelia.

Adelia mengangguk mengiyakan, "Kasian kalo om Vernon sendirian."

"Tapi ayah juga sendirian disini. El ngga mau pergi." katanya memeluk Devanno.

"Aduh, jagoan ayah." ucap Devanno balik memeluk. "Nanti ayah pasti nyusul kalian kesana. Ayah juga ngga mau jauh-jauh dari El sama adik." lanjutnya.

"Bener ya, Yah?"

Devanno mengiyakan. "Janji sama ayah buat jagain mamam dan adik ya?"

El juga mengangguk. "Pasti, ayah."

"Sekarang bantu mamam beresin mainan El ya? Biar ayah yang jaga adik." kata Devanno.

                                        ........

Sidang keputusan perceraian Devanno dan Adelia baru saja selesai digelar. Saat ini, mereka sudah resmi bercerai. Status mereka sudah bukan lagi suami dan istri.

El dan juga Ariella sengaja Adelia titipkan pada orang tua Adelia. Ia tak membawa serta mereka agar mereka tak mengetahui apa yang terjadi pada kedua orang tuanya.

Meskipun sudah tak menyandang status suami istri lagi, Devanno tetap mengantar Adelia pulang kerumahnya. Suasana di dalam mobil begitu canggung. Mata Adelia sembab karena menangis, begitupula dengan mata Devanno yang sayu akibat kurang istirahat.

Mungkin sebagian orang menyesalkan keputusan mereka ini. Siapapun tau kalau mereka berdua masih saling mencintai. Namun entah kenapa sepertinya kali ini mereka sudah sangat bulat ingin berpisah.

"Kamu tau? Ini gila banget, Ya. Aku ngga sangka ini terjadi sama kita." kata Devanno memulai pembicaraan.

Adelia terdiam menghadap ke kaca jendela, menahan tangisnya.

"Hukuman ini terlalu kejam buat aku. Memang aku harus sadar kalo kesalahanku fatal, tapi aku kayanya masih bisa menganggap ini keterlaluan."

Adelia masih terdiam.

"Tapi ngga apa-apa. Aku hargai keputusan kamu," katanya. "Kalian ke Aussie besok kan? Boleh aku anter kalian ke bandara? Setidaknya, aku bisa ketemu sama anak-anak sebelum pisah lama." lanjut Devanno.

Adelia kemudian mengangguk, "Pasti boleh mas."

"Nanti aku ngga mampir ya. Aku takut anak-anak nangis liat aku."

Adelia kembali mengangguk. "Iya ngga apa-apa."

Sepulangnya Devanno mengantar Adelia, ia langsung pulang kerumahnya. Begitu ia masuk, tak ada lagi panggilan yang menyambutnya dengan ceria. Tak ada lagi pelukan hangat dari istrinya, yang bisa menghapus lelah yang ada ditubuhnya. Kini ia sendiri, menatap nanar sekeliling rumahnya yang kosong.

Devanno beralih kekamar El dan Ariella. Pandangannya, tertuju pada sebuah frame foto yang di pajang di nakas sebelah kasur El. Ia duduk dikasur, mengambil frame itu lalu mengusapnya. Foto itu diambil saat Ariella baru lahir. Ayah Adelia waktu itu yang mengambil gambar ini. Foto itu menunjukkan betapa bahagianya keluarga kecil Devanno menyambut anggota baru keluarganya. Sampai tak terasa, air mata Devanno jatuh ke pipinya. Ia menangis. Menyesali semua perbuatan bodohnya yang mengakibatkan perpisahan ini harus terjadi. Dipeluknya frame itu, ia menjatuhkan diri ke lantai, menangkup wajahnya dikedua kakinya yang ia tekuk. Ia menangis bak seorang anak kecil yang kehilangan permennya. Air matanya tak tertahankan. Wajahnya memerah berusaha menahan derai air mata.

"Maafin ayah, nak. Maafin ayah."

Tbc.

My Lecture My Husband-Part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang