Trouble : : 11

2.1K 262 119
                                    

Happy reading...

___________________________

"Pelan-pelan turunnya, Vin." Devan membantu Devin untuk turun dari ranjang. Devin menggenggam tangannya sebagai tumpuan.

"Nih," ujar Dian memberikan sepasang sendal untuk Devin.

"Sendal siapa, Bun?"

"Devan lah." Dian berucap sembari tertawa.

"Ah pake aja! Ribet banget lo!" ucap Devan langsung.

"Iya bawel!" Devin meraihnya dan memakai sepasang sendal tersebut.

Hendra tersenyum, "Ayo... Kita pulang," ujar pria paruh baya itu.

Devin mengangguk, senyum tipis tampak di wajah cowok itu. Tiba-tiba sebelah tangan Devan langsung merangkulnya. "Ayo! Kita balik ke rumah! Wuhu! Let's go!" seru Devan.

Devan mengajak Devin berjalan keluar dari kamar dengan semangat. Sedangkan Devin hanya terdiam mengikuti ke mana pun dirinya diajak berjalan. "Lo lebay banget isi ngerangkul gue, Van."

"Trus gue harusnya gimana? Gendong lo? Ya kali!"

Mereka berempat berjalan keluar meninggalkan rumah sakit. Hendra masuk ke dalam mobil, disusul oleh Dian. Devin melepas rangkulan Devan pelan. Ia masuk menginjakkan kaki di kursi penumpang bagian belakang mobil itu. Devin duduk di sisi kiri dan Devan duduk di sisi kanan.

Hendra melihat ke belakang sejenak, ia melihat kedua putranya yang duduk saling berdekatan. Kemudian ia melihat ke arah Devin seorang. Ia tersenyum, rasanya sangat senang dan lega melihat putranya itu kembali bergabung setelah sekian lama. Di satu sisi Hendra merasa bahagia dan di sisi lain ia merasa sedih ketika mengingat segala hal pahit yang putranya telah lalui.

Hendra tersenyum, pria itu kembali menegakkan dirinya ke arah depan. Ia menghidupkan gas mobil dan langsung melajukan mobil itu untuk pergi dari area rumah sakit.

Devin melihat ke luar jendela yang masih tertutup. Dari hatinya yang paling dalam, ia sangat merindukan suasana ini. Melihat gedung-gedung bertingkat, jalanan, kios-kios pedagang, pepohonan, serta hal yang lain di luar sana. Cowok itu langsung membuka kaca jendela, dan menikmati angin sejuk yang menerpa wajahnya. Devin bersandar mendekati jendela, senyumnya kembali terukir ketika menghirup udara dan angin sejuk di luar jendela. Ya ... angin sejuk yang tak pernah ia rasakan selama bertahun-tahun terkurung dalam kamar.

Jadi, inikah yang dinamakan bebas?

Terakhir kali ia naik mobil adalah delapan tahun yang lalu. Ia masuk ke dalam mobil yang tak pernah ia inginkan, secara paksa. Tapi saat itu ia tak sebebas sekarang. Tangannya terikat ke belakang, begitu juga dengan kakinya yang diikat hingga tak bisa bergerak. Mulutnya ditutup menggunakan kain yang diikatkan hingga ke belakang, kemudian kepalanya ditutupi oleh kantong berwarna hitam agar tidak bisa melihat. Tak hanya itu, jika ia menangis saat berada di dalam mobil, para antek Fiera tak akan segan-segan memukul lengannya berkali-kali.

Devin meremas-remas tangannya erat, seketika air mata turun berlinang saat hal mengerikan itu kembali teringat di kepalanya. Delapan tahun terkurung dan tersiksa, membuat rasa perih kembali menyerbu hati Devin. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat, ada banyak hal yang ia tidak dapatkan layaknya anak-anak lain di luar sana. Tak ada kebebasan, kebahagiaan, kasih sayang, canda dan tawa. Devin masih tidak mengerti mengapa dirinya bisa bernasib menyedihkan seperti saat itu. Devin tetap membiarkan air matanya jatuh tetes demi tetes, ia terus melihat ke arah luar jendela.

Devan yang berada di sampingnya, langsung menghela napas. Cowok itu melihat Devin yang sedang meneteskan air mata tanpa terisak. Devan meletakkan tangannya di pundak Devin untuk menenangkannya, "Udah, sekarang kita lagi balik ke rumah. Jangan cengeng."

TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang