Trouble : : 18

1.5K 225 183
                                    

Maunya up 1 chapter, tp keknya nanggung :v

Ya udah aku up 2 aja sekaligus wkwkwkwk...

Happy reading....

______________________________

Emosi Hendra semakin bergemuruh, pria paruh baya itu melihat ke arah Devan yang sudah berada di depannya. "Dasar anak bodoh!!"

PLAAKKK....

Devan mengepalkan tangan erat sembari menahan rasa panas akibat tamparan yang cukup keras di pipi sebelah kirinya. Pertama kali dalam seumur hidup, Devan menerima tamparan itu dari Ayahnya sendiri. Ia tak bergeming, matanya menatap lurus ke arah lantai rumah sakit dengan buliran air di kedua kelopak mata yang masih tergenang.

"MAS!!" teriak Dian ke Hendra kemudian merangkul putranya.

"Ini udah kali keberapa kamu bikin adikmu dalam bahaya, hah?!" tegas Hendra ke Devan.

Devan menggigit bibirnya menahan tangis. Dadanya terasa sesak seketika. Wajahnya memerah, begitu juga dengan tangannya yang mengepal erat. Buliran air mata jatuh membasahi pipi begitu saja. Rasa bersalah itu kembali hadir.

"Mas! Kamu jangan bentak Devan!" Dian mendelik ke arah suaminya.

Hendra berusaha mengontrol emosi. Setetes air mata jatuh dari kedua kelopak mata. Ia melihat ke sekeliling, banyak pasien yang juga sedang menatap dirinya. Apa ia sudah sangat kelewatan?

Di sana ada Harlly, Aldi, Iqbal, Bian dan tentu saja Key, yang terdiam mematung. Seketika semuanya ikut menunduk ketika Hendra menatap mereka, bahkan seorang Keysia sekalipun.

Wajah Hendra memerah akibat menahan emosi. Setelah satu helaan napas berat, ia kembali menoleh ke arah Devan. Putranya itu menunduk kaku, tetesan air matanya pun juga jatuh membasahi pipi.

Hendra menghela napasnya, "Van, apa kamu nggak kasihan sama saudara kamu? Udah berapa kali kamu buat dia dalam keadaan bahaya? Dulu, Devin juga diculik karena kesalahan kamu ngajak dia main petak umpet di tempat sepi. Delapan tahun dia ngilang dan disiksa sampai mentalnya hampir terganggu. Dan sekarang pas Devin udah kembali, kamu tetep aja buat dia dalam keadaan bahaya! Apa kamu sadar?!" tegas Hendra.

Devan menangis tanpa terisak, hanya buliran air mata yang turun deras tiada henti. Wajahnya sembab karena tangis, tapi Dian terus merangkul dan mengelus lembut kepalanya.

Hendra menggeleng kecewa, "Kayaknya kamu udah mulai lupa tugas seorang kakak!"

Devan kembali mengepal tangannya erat ketika rasa sesak di dada datang menyergapnya tiada ampun. Hatinya teriris ketika mendengar ucapan Ayahnya itu. Devan mengutuki dirinya sendiri. Bodoh! Sudah enam belas tahun ia hidup sebagai manusia, tapi tetap saja ia lalai dan membuat Devin dalam keadaan bahaya. Apakah dirinya masih pantas untuk disebut sebagai seorang kakak?

"Udah, Mas..." Suara Dian terdengar lirih.

Hendra menitikkan air matanya, "Van..." Pria paruh baya itu menghela napasnya sejenak lalu menggeleng dengan sangat pelan, "Ayah kecewa sama kamu!"

Jeder...

Devan terpegun mendengar kalimat itu. Seperti ada petir bertegangan listrik tinggi yang menyambarnya langsung sekarang juga. Tubuh Devan bergetar seketika, tapi pada saat yang bersamaan dirinya membeku di tempat. Ada belati tajam seperti menusuk hatinya bertubi-tubi hingga saat ini. Tak hanya itu, ia juga merasakan sayatan tipis-tipis sedang menggores hatinya hingga menimbulkan rasa perih yang sangat. Apalagi sekarang ia menyadari bahwa Ayahnya sudah berjalan pergi dengan langkah cepat setelah mengucapkan kalimat itu.

TROUBLE [TELAH TERBIT] ✅Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ