F.3

10.1K 1.5K 167
                                    




Sorry for typo(s)



Ruang tengah keluarga sudah penuh dengan mainan yang berserakan, ditambah layar televisi menyala dan menampilkan sebuah video sekaligus suara dentuman musik melalui speaker.




Dua anak kecil berdiri bersebalahan hanya menggunakan piyama berwarna biru untuk sang kakak dan merah muda untuk adiknya. Pukul tujuh pagi, belum waktunya mereka untuk mandi. Justru bermain terlebih dahulu sembari menunggu ibunya memasak. Jika sudah diberikan susu dan roti untuk camilan, mereka sudah bersemangat membuat berantakan ruang tengah.





"Sorry Sorry Sorry Sorry
Naega naega naega meonjeo
Nege nege nege ppajyeo
Ppajyeo ppajyeo beoryeo baby
Shawty Shawty Shawty Shawty
Nuni busyeo busyeo busyeo
Sumi makhyeo makhyeo makhyeo
Naega michyeo michyeo baby"





Gerakan mereka terlihat kacau karena hanya sekedar meniru dari video di layar televisi. Namun, suara tawa dan suasana hati gembira tak pernah luntur dari wajah si kembar.




Kaki-kaki mungil itu bergerak ke sana kemari mengikuti nada dan mengabaikan dance yang ada karena terlalu larut dalam musik tersebut.




Namun, suasana menyenangkan tersebut harus berakhir ketika si sulung mendengar teriakan dari adiknya. Tubuh mungil yang tadi berlari mengikutinya dari belakang kini sudah tersungkur di lantai.




"Nana!" pekiknya sembari berlari menghampiri sang adik.




Wajah manis itu sudah hampir menangis, sang kakak membantunya untuk berdiri. Walaupun lantai di rumah terbuat dari keramik, tetapi mainan yang tersebar bisa terbuat dari benda apa saja di sana sampai membuat luka lecet pada betis si bungsu.




Segera Haechan berlari menuju ke lemari kaca yang biasa sang ibu menyimpan obat-obatan di sana. Tangan mungilnya menarik kursi yang tinggi dari sudut nakas, ia berusaha naik dan membuka lemari tersebut.




"Ya Tuhan, Haechan!" suara sang ibu membuatnya menoleh, wanita dengan apron berwarna merah berjalan menghampiri si sulung kemudian menggendongnya, "Apa yang kau lakukan? Nanti jatuh, Sayang."




"Obat! Wat Nana!" katanya seraya menunjuk ke arah lemari tersebut.




Pernyataan tersebut membuat wanita itu mengalihkan perhatiannya pada si bungsu yang terduduk lemas di lantai, bibirnya melengkung ke bawah menahan tangis. Segeralah, ia mengambil obat merah, kapas serta plester di sana. Bersama dengan Haechan, ia mendekati si bungsu.




"Bial Echan ja!"




Dengan senyum kecil yang terukir, sang ibu membantu menuangkan obat merah tersebut ke atas kapas. Namun, pekerjaan selanjutnya telah dilakukan oleh si sulung.




"Janan keyas-keyas!"




Tubuh Haechan telungkup di atas lantai, wajahnya berubah serius ketika menempelkan kapas tersebut di atas luka sang adik sembari meniupnya seperti yang telah diingat ketika sang ibu mengobati luka mereka dulu.




Fratelli✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang