CHAPTER 10 SUARA SIAPA?

1.1K 126 73
                                    

Semilir angin di siang hari ini terasa hangat karena matahari yang bersinar terik. Linsey berdiri sambil berpegangan pada dinding pembatas rooftop sekolahnya. Memejamkan mata untuk menikmati hembusan angin yang menyapa kulit wajah dan rambutnya.

Dikala suara derit pintu yang terbuka tertangkap indera pendengarannya, seketika Linsey membuka mata. Dia menoleh ke belakang untuk melihat siapa gerangan orang yang datang dan mengganggu ketenangannya.

" Hai ... sudah ku duga kau ada di sini."

Linsey mendengus, menemukan seorang pemuda berparas tampan berjalan menghampirinya sembari melambaikan tangan disertai cengiran lebar. Pemuda itu adalah Raiyan Holand, putra semata wayang dari Roy dan Kaila sekaligus satu-satunya sahabat yang dimiliki Linsey.

Linsey kembali memalingkan wajah, lebih tertarik menatap ke depan dibandingkan menyahuti sapaan ramah Raiyan.

" Heeh ... kebiasaan ya disapa tidak pernah menyahut."

Raiyan yang jengkel menepuk cukup keras bahu Linsey membuat gadis itu meringis disertai delikan tajam. Raiyan kembali menyengir lebar, jika sudah berekspresi seperti itu dia tahu Linsey benar-benar kesal padanya.

" Kenapa datang ke sini? Jangan ganggu aku. Pergi sana, keberadaanmu hanya mengganggu." sahut Linsey ketus.

Raiyan memutar bola mata malas, mengusap dada berusaha menyabarkan diri menghadapi Linsey yang memang selalu bersikap seperti itu di depan orang lain, bahkan di depannya juga yang jelas-jelas bersahabat sejak mereka kanak-kanak.

" Berapa kali aku harus bilang, jangan bersikap ketus pada orang lain. Bersikap baiklah walau hanya sedikit. Jika terus seperti ini kau tidak akan pernah bisa memiliki teman."

" Memangnya aku peduli."

Raiyan terpaku mendengar jawaban Linsey yanga acuh tak acuh, beberapa detik kemudian dia menggeleng tak habis pikir. Bagaimana bisa sahabatnya yang sewaktu kecil cukup periang, kini berubah jadi sedingin ini?

Awalnya Raiyan ingin mendebat, tapi dia sadar hal itu hanya sia-sia. Linsey dengan kekeraskepalaannya merupakan kelemahan terbesar Raiyan. Dia tak pernah bisa menang menghadapi sifat keras Linsey yang sepertinya menurun dari ayahnya.

" Aku datang ke sini untuk memberimu ini." kata Raiyan sembari mengangkat paperbag di tangan yang dari merknya sudah Linsey prediksi isinya apa, pastilah hamburger yang sengaja dibelikan Raiyan untuknya. Pemuda itu mengibas-ngibaskan paperbag di depan wajah Linsey membuat gadis itu menggeram dan menepisnya kasar hingga nyaris paperbag itu terlempar jauh, beruntung refleks tubuh Raiyan cukup bagus sehingga dia berhasil menangkap paperbag yang sempat lepas dari tangannya tersebut.

" Aku tidak lapar. Kau makan saja sendiri."

Raiyan berdecak, habis sudah kesabarannya menghadapi gadis dingin itu. Tak ada pilihan lain selain memaksanya. Raiyan menangkap tangan kiri Linsey, menariknya paksa untuk ikut duduk di lantai bersamanya.

" Rai, lepaskan!" Linsey berontak tentu saja, berniat bangun lagi. Namun gagal karena tangan Raiyan tak membiarkannya.

" Duduk Lins, cepat makan. Hargai aku yang susah payah membelikanmu ini."

" Salahmu sendiri, aku tidak menyuruhmu membelikan ini untukku."

Linsey hanya diam memperhatikan gerakan tangan Raiyan yang gesit mengeluarkan sebuah hamburger dari dalam paperbag.

" Ini cepat makan, aku tahu kau kelaparan."

" Siapa bilang? Jangan sok tahu. Aku ..."

Linsey terbelalak ketika tiba-tiba Raiyan menyumpal mulut terbuka gadis itu dengan hamburger. Memasukan secara paksa hamburger ke dalam mulut Linsey.

TEAM SEVEN (MARGARETH)Where stories live. Discover now