CHAPTER 12 MARGARETH, ITU NAMANYA

1K 115 45
                                    

Kelima remaja itu kini sudah berdiri di depan gerbang. Gerbang setinggi empat meter terbuat dari baja. Dimana di bagian atasnya tampak runcing dan tajam sehingga mustahil bisa dilewati oleh perampok sekali pun.

" Hei ... gerbang ini sepertinya terkunci? Bagaimana cara kita membukanya?" tanya Alina, dia sudah mendorong pintu gerbang dan tak ada tanda-tanda bisa dibuka.

" Pasti ada belnya di sini. Bel yang bisa kita tekan." Helen berargumen seraya dirinya memeriksa adakah tombol atau layar yang bisa digunakan untuk memberitahu pemilik mansion bahwa mereka akan bertamu.

Tidak hanya Helen yang memeriksa, Minna dan juga Alina ikut membantu. Sedangkan Raiyan hanya diam memperhatikan ketiga temannya. Lain halnya dengan Linsey yang sejak tadi terus menatap ke arah mansion seolah lupa cara berkedip.

" Tidak ada tombol apa pun di gerbang ini." Minna yang sudah selesai memeriksa bagiannya menjadi orang pertama yang melaporkan.

" Aku juga sama. Tidak menemukan tombol." Alina menimpali. " Kau bagaimana, Helen?"

Helen berdecak, dia juga tidak menemukan tombol apa pun, namun dia tidak ingin menyerah. Dia pun memungut sebuah batu yang tergeletak tak jauh dari kakinya berpijak. Lantas menggunakan batu tersebut untuk diketuk-ketukan pada besi gerbang.

Tung ... tung ... tung

Kira-kira begitulah suara yang berasal dari ketukan batu pada besi gerbang.

" Hallo ... permisi, apa ada orang di dalam?!!" teriak Helen dengan volume suara maksimal.

" Hei, jangan begitu. Tidak sopan."

Raiyan menghentikan, merebut batu di tangan Helen seraya memelototi gadis itu.

" Mau bagaimana lagi? hanya ini satu-satunya cara kita memberitahu pada penghuni mansion kalau kita sedang berdiri di sini." Helen mencoba membela diri, menjelaskan alasannya melakukan tindakan tak sopan tersebut. " Lagipula ... lihat, hujannya semakin deras."

Helen tidak berbohong, benar adanya rintik hujan yang turun dari langit semakin deras terasa. Bukannya mereda seiring berjalannya waktu.

" Aku setuju dengan Helen, hanya ini satu-satunya cara memberitahu keberadaan kita pada pemilik mansion."

Alina yang mendukung tindakan Helen, ikut memungut sebuah batu berukuran kecil. Tanpa menunggu respon Raiyan, dia pun memukulkan batu itu pada besi seperti yang dilakukan Helen tadi.

" Permisi, ada orang di dalam?!!" teriaknya.

Namun ... tak ada sahutan maupun tanda-tanda seseorang keluar dari mansion untuk membukakan gerbang yang dalam kondisi terkunci tersebut.

" Mungkin kita harus melakukannya bersama-sama agar suaranya lebih kencang."

Helen merebut kembali batu dari tangan Raiyan. Bersama dengan Alina memukulkan batu pada gerbang sembari mulut mereka yang tiada henti berteriak.

Minna yang sejak tadi menjadi pendengar yang baik, kini ikut membantu. Memungut batu untuk dia pukulkan pada gerbang.

" Permisi!! Ada orang di dalam?!!" teriak mereka berbarengan.

Raiyan mendesah lelah, toh dia memilih diam karena sadar larangannya tak akan digubris ketiga gadis itu.

Dia pun melirik ke arah belakang, pada sosok Linsey yang berdiri mematung tanpa melakukan apa pun sejak tadi.

" Lins ... bagaimana ini? apa yang harus kita lakukan selanjutnya? Lihat ... tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan gerbangnya untuk kita."

Linsey yang sejak tadi menatap ke arah bangunan mansioan pun, menggulirkan mata. Fokusnya kini tertuju pada Raiyan yang baru saja meminta pendapatnya.

TEAM SEVEN (MARGARETH)Where stories live. Discover now