04 [Di Balik Jendela Perpustakaan]

2 1 0
                                    

Di sinilah akhirnya Icha berada. Duduk menghadap jendela usang yang langsung menampilkan lapangan—tempat di mana gladi bersih berlangsung. Kacanya yang jarang dibersihkan membuat Icha sedikit kesulitan melihat keadaan di lapangan. Namun, ia bersyukur karena memiliki mata yang cukup tajam, apalagi jika menyangkut seseorang yang spesial. Jarak berapa meter pun pasti Icha tahu.

Untung saja, perpustakaannya tidak ditutup karena sang penjaga tengah mengerjakan sebuah tugas. Memang beruntung nasib Icha hari ini.

Ternyata, gladi bersih belum dimulai. Terlihat dari lapangan yang masih kosong dan para peserta yang masih sedikit. Icha lalu mendongak untuk melihat jam dinding. Sudah pukul empat sore. Ketika jarum pendek menunjukkan angka lima, rela tidak rela ia harus pulang. Kalau tidak, bisa sampai maghrib Icha baru sampai rumah.

Sebuah getaran dari dalam tas berwarna maroon itu menyentak kesadaran Icha. Ia lalu merogoh tasnya dan mengambil sebuah benda berbentuk persegi dari sana. Layarnya menyala, menampilkan sebuah notifikasi berisikan pesan dari seseorang.

Icha pun menekannya. Muncullah room chat antara dirinya dan Reta di sebuah aplikasi bernama WhatsApp.

Icha mengernyitkan dahinya seketika begitu melihat foto yang dikirim Reta. Bagaimana bisa?

Icha lalu mendekatkan wajahnya pada kaca jendela dan mulai mencari keberadaan Reta. Ketika kepalanya sedikit serong ke kanan, saat itulah Icha melihat Reta tengah mengobrol dengan Fian, dan juga... Abi?!

Icha terbelalak. Betapa beruntungnya Reta berada di antara cowok-cowok itu. Dan kini, mereka bertiga tengah tertawa dengan indahnya. Sedangkan Icha? Ia malah memilih bersembunyi di sini. Seperti terasingkan dari kehidupan.

Seakan terpikirkan sesuatu, Icha langsung berseru, "Astaga!"

Icha menyalakan ponselnya dan menekan tombol panggilan. "Angkat dong, lama banget."

Begitu mendengar suara operator yang tak kunjung berhenti, Icha mematikan panggilan dan kembali memanggil Reta. Ia mengulanginya hingga lima kali. Icha sudah seperti orang yang kehilangan sesuatu, mondar-mandir nggak jelas dengan raut wajah yang cemas.

Saat di panggilan ke enam, Icha kembali melihat Reta lewat kaca jendela. Giginya bergemeletuk saat melihat Reta yang malah semakin akrab. Sial, ternyata gadis itu men-silent ponselnya.

Bukan tanpa alasan Icha menelpon Reta hingga beberapa kali. Jika sudah menyangkut Abi, maka Icha tidak bisa diam saja. Apalagi jika ada Reta di dalamnya, sungguh tidak bisa dibiarkan.

Bukan karena Icha cemburu. Bukan. Ini jauh lebih gawat daripada cemburu. Icha tidak bisa membiarkan mulut ember Reta memberitahu Abi kalau dia menyukai cowok itu. Sekali lagi, Icha tidak bisa tinggal diam!

•~•~•

Reta tertawa kecil saat melihat ada enam missed call dari Icha. Ia memang sengaja men-silent ponselnya. Tentunya agar bisa membuat Icha cemburu, karena sekarang ia sedang ngobrol dengan Abi. Iya, Abi yang itu, yang disukai sahabatnya.

Reta lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali fokus dengan obrolan mereka. Mereka ; Reta, Fian, dan Abi.

Tak lama, Reta melihat seseorang mirip Icha sedang berjalan ke arahnya. Awalnya, Reta cuek saja. Lagipula, Icha mana berani menghampirinya jika ada Abi di dekatnya.

Tapi, semakin lama langkah seseorang itu terdengar di telinganya. Dan kini, ia berdiri tepat di depannya. Terpaksa, Reta pun mendongak. Kedua cowok di sampingnya juga melakukan hal yang sama.

Bener-bener mirip Icha sih kalo gini, batinnya. Tidak tahu saja bahwa seseorang itu memang Icha!

"Ada apa, ya?" tanya Reta ramah.

"Anterin gue pulang dong," jawab Icha tak kalah ramah. Ia menahan rasa groginya, padahal kentara sekali bahwa tubuhnya kini tengah gemetar.

Reta mengernyit sebentar. "Anterin lo pu—lo Icha?!" serunya begitu menyadari siapa sebenarnya gadis yang tengah berdiri di depannya kini. Ia bahkan sampai menutup mulutnya saking tidak percayanya.

Dan Icha hanya mengangguk sebagai balasan. "Ayo."

Tanpa mau berlama-lama di sana, Icha segera menarik tangan Reta. Tentunya, Icha sudah meminta maaf pada kedua cowok di sana karena mengambil Reta—lebih tepatnya ia hanya berbicara pada Fian.

Masih dalam mode terkejut dan heran, Reta mengerjapkan matanya beberapa kali hingga dirinya sadar. "Cha? Ini bener-bener lo kan?" tanyanya memastikan.

Icha berdecak mendengar pertanyaan bodoh itu. Kalau dirinya bukan Icha memang siapa lagi?

"Emang lo pernah liat wajah kayak gini selain gue?"

"Ya ampun, Cha, sumpah gue kaget beneran. Gue pikir, lo mana berani menampakkan diri di depan gue. Apalagi, gue lagi sama Abi," jelas Reta.

"Emang kenapa kalo sama Abi? Gue nggak boleh ganggu gitu?" tanya Icha kesal sendiri, seolah-olah Reta mengatakan kalau ia tidak boleh mengganggunya dengan Abi.

Bukannya menjawab pertanyaan Icha, Reta malah tertawa. Membuat Icha semakin kesal. Pasti sebentar lagi, Reta akan mengejeknya.

"Cemburu nih ceritanya? Iya kan? Iya aja deh," goda Reta sambil mencolek pipi Icha.

"Udah deh, jangan mulai. Gue tinggal di sini nih," ancam Icha.

"Uuuu... takut. Hahaha..."

"Malah ketawa lagi."

"Iya iya maaf, lagipula kalo lo ninggalin gue juga nggak pa-pa kok. Gue kan bisa minta anter sama Fian. Atau sama Abi?"

Huh! Icha mendengus kesal. Memangnya sudah seakrab itu apa Reta dengan Abi hingga ia bisa minta cowok itu untuk mengantarnya pulang? Enak saja, walau sudah seakrab itu pun, tidak akan Icha biarkan.

Sesampainya di parkiran, Icha mengeluarkan kunci motornya dan melemparnya pada Reta. "Lo yang bawa," ujarnya.

Dengan pasrah, Reta menerimanya. Daripada ia benar-benar ditinggalkan di sini?

•~•~•

CHANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang