10 [Hari-Hari Bersamanya]

2 1 0
                                    

Setelah kejadian 'penarikan rambut' di parkiran itu, Abi semakin gencar mendekati Icha. Bukan dalam konteks yang berhubungan dengan asmara, melainkan untuk menjahili gadis itu. Ada saja yang ia lakukan jika tak sengaja bertemu Icha di kantin, berpapasan di lorong, atau saat Abi izin ke toilet dan bertepatan dengan Icha saat ia keluar dari toilet perempuan.

Icha yang merasa mendapat anugerah karena bisa berinteraksi dengan Abi semakin yakin kalau anugerah itu telah menjadi musibah. Bukannya bahagia atau mengalami hal-hal romantis seperti yang ia inginkan, Icha malah mendapat perlakuan yang selalu membuatnya kesal. Belum juga Icha sempat membalas, tapi Abi sudah melakukan hal lain yang membuatnya geram.

Cowok itu kini sudah seperti cenayang saja yang bisa tahu keberadaan Icha. Di manapun Icha berada, selalu saja ada Abi di sana. Dengan segala perlakuan jahilnya kepada Icha, sekalipun itu hanya teriakan ejekan.

Seperti siang ini contohnya, saat ia disuruh membawa lembar ulangan ke ruang guru. Entah ini sebuah kebetulan atau sudah direncanakan, saat Icha tiba di anak tangga terakhir, ia melihat Abi berjalan dengan beberapa tumpuk buku di tangannya. Icha berharap cowok itu tidak melihatnya. Namun, sebelum Icha memulai aksi kaburnya, Abi sudah memanggil.

"Icha!"

Terpaksa, Icha berhenti. Begitu Abi sampai di depannya, cowok itu memindahkan buku-buku yang ia bawa kepada Icha—dengan paksa tentunya.

Begitu buku-buku itu berada di tangan Icha, Abi tersenyum. "Bawain sekalian ya. Yuk."

Icha mendengus kesal. Kadang, Icha berpikir, kok bisa gitu ia menyukai cowok yang modelnya seperti ini.

Abi pikir, Icha akan menurut. Tentu saja cowok itu salah. Sudah kepalang kesal, Icha meletakkan buku-buku milik Abi di atas tanah. Ia lalu berjalan mendahului Abi.

"Bawa aja sendiri!" ujar Icha ketus sambil mempercepat langkahnya menuju ruang guru.

Abi lantas tertawa melihat reaksi kesal Icha. Rasanya ia benar-benar seperti kembali pada masa SD dulu alias bernostalgia.

Menjahili Icha kini sudah menjadi candu baginya. Ah, sepertinya bukan hanya saat ini saja, melainkan sudah dari dulu. Jika tidak ia lakukan, Abi merasa seperti ada yang kurang.

"Abi." Sebuah panggilan bernada berat itu membuyarkan lamunan Abi. Perlahan, ia menoleh ke asal suara dan menemukan sosok pria berkumis tebal tengah menatap tajam padanya.

Abi hanya bisa nyengir untuk membalasnya. "Eh, Bapak cepet banget jalannya. Hehehe..." ujarnya cengengesan.

"Kamu yang lelet!"

"Oh gitu, ya, Pak. Iya deh, saya yang lelet," ujar Abi mengalah. "Saya duluan kalo gitu, Pak."

Baru satu langkah, pria yang menjadi gurunya itu kembali memanggilnya. "Abi! Bukunya!"

Abi baru tersadar kalau ia tadi disuruh Pak Broto membawakan buku tugas satu kelas ke meja beliau. Abi lalu berbalik dan mengambil buku-buku tersebut yang berada tepat di depan Pak Broto.

"Maaf, Pak, lupa kalau bawa barang. Hehehe..."

Begitu buku-buku tersebut sudah berpindah ke tangannya, ia langsung mengambil langkah seribu alias kabur, daripada mendengar omelan untuk yang kesekian kali.

~•~•~

Bee❤ : Cha, pulang sekolah ikut gue makan yuk

Reta tak sengaja membaca sebuah chat di notif ponsel milik Icha yang saat ini ia pinjam untuk bermain game. Melihat Icha yang masih berdiskusi di meja lain, Reta tersenyum jahil.

CHANTIKWhere stories live. Discover now