11 [Gadis Lain]

1 1 0
                                    

Seakan Icha memang tak ditakdirkan untuk larut dalam kebahagiaan, seorang gadis tiba-tiba saja menghampirinya saat ia menunggu  Abi yang masih di toilet.

"Maaf, kursi itu sudah ada yang punya," ujar Icha sopan. Padahal, jelas-jelas di kursi itu sudah ada tasnya.

Gadis itu hanya menatap datar ke arah Icha. Hanya tatapan datar yang ia berikan pada Icha hingga Abi kembali.

"Loh, kamu udah balik?"

Begitu mendengar kata 'kamu', Icha mengernyit. Lalu, sikap dingin yang gadis itu berikan pada Icha menguap begitu saja. Tergantikan dengan ekspresi senang. Begitu pula Abi, binar senang di kedua matanya tak bisa Icha abaikan begitu saja.

"Iya, baru sampe tadi pagi. Maaf nggak ngabarin, habis dateng aku langsung tidur. Capek."

Icha semakin tidak mengerti. Apalagi, saat mereka berpelukan di depannya. Seakan tidak ada yang melihat saja. Padahal jelas-jelas kedua mata Icha melotot melihatnya.

Lalu, Abi mengambil kursi di belakangnya dan duduk. Seperti lupa akan tujuannya, Abi malah mencondongkan badannya pada gadis berwajah datar itu dan berbicara dengan akrab. Bahkan, mereka tidak segan untuk saling menggenggam tangan. Bayangkan saja bagaimana perasaan Icha saat ini. Tadi berpelukan, dan sekarang mereka saling menggenggam!

Tolong, di sini juga ada orang! teriak Icha dalam hati.

"Oh ya, ini Chan—Icha, teman aku waktu SD yang sekarang satu sekolah sama aku alias sama kamu juga." Akhirnya, Abi menyadari bahwa masih ada manusia di sampingnya selain gadis berwajah datar itu.

Gadis itu tersenyum dengan manisnya seraya menyodorkan tangan. "Oh, hai," ucapnya ramah.

Icha hampir saja mencibir saat melihat perubahan ekspresi yang begitu drastis di wajah gadis itu. "Icha."

"Dan ini, Sani," ujar Abi.

"Pacarnya Abi. Senang berkenalan denganmu, Icha," tambah Sani.

Melihat senyum manis yang dibuat-buat itu membuat Icha ingin muntah saja. Apa katanya? Senang berkenalan denganmu? Denganmu? Formal sekali, memangnya mereka sedang belajar Bahasa Indonesia apa?

~•~•~

Gadis berkemeja abu-abu itu sesekali mengecek jam di pergelangan tangannya, memastikan apakah ia yang datangnya terlalu cepat atau memang seseorang yang ia tunggu datang telat. Dan ia memilih opsi kedua, karena ini sudah lewat dua puluh menit dari jam yang dijanjikan.

Ia menghela napasnya. Mengapa juga ia bisa lupa kebiasaan cowok itu yang selalu ngaret di tiap acara? Padahal, belum genap satu bulan ia berada di luar kota.

Berada di lingkungan baru bersama orang-orang asing ternyata cukup memengaruhinya. Terlebih lagi jika menyangkut waktu. Kini, ia lebih menghargai waktu dibanding dirinya dulu yang suka menunda-nunda.

Lima menit kemudian, terdengar bunyi lonceng dari pintu yang terbuka. Derap langkah kaki itu sangat familier. Tanpa menoleh pun, gadis itu tau siapa yang datang.

"Maaf nunggu lama," ujar cowok itu seraya duduk dengan senyum manis di bibirnya.

"Kebiasaan," cibir sang gadis dengan kedua tangan yang ia lipat di depan dada. "Lo nggak bilang apa-apa ke Abi soal ini kan?"

Cowok itu menggeleng. "Tenang aja. Sama gue, semuanya pasti aman," ujarnya.

"Oke, ceritain semua yang lo tahu," pinta si gadis.

"Mungkin udah tiga minggu ini, gue lihat Abi lebih deket sama cewek dari kelas sebelas. Kalo menurut gue, untuk ukuran orang yang baru ketemu, mereka cukup akrab. Jadi, gue nyimpulin kalo mereka pernah deket di masa lalu. Entah sebagai teman atau—"

"Cukup."

Gadis itu, Sani, tampak berpikir. Hanya satu bulan ia berada di luar kota untuk mengikuti program pertukaran pelajar, tapi ia sudah mendapat pesaing baru. Mengapa ia menyebutnya pesaing? Karena selama ini, tidak ada gadis yang dekat dengan Abi selain dia.

~•~•~

Hari Senin yang selalu cerah. Sani mengamati bagian depan sekolahnya sebelum kakinya benar-benar melewati gerbang. Setelah pertemuannya dengan Icha beberapa hari lalu, entah mengapa membuatnya cemas dan gelisah.

Alih-alih memakai kesempatan untuk libur beberapa hari, Sani memutuskan untuk masuk sekolah. Tentu saja ia tak memberitahukan hal ini pada Abi, karena pasti pacarnya itu akan menyuruhnya untuk libur dulu.

Jika ia menurutinya, Sani berpikir kalau peluang Abi dan Icha menjadi semakin dekat akan sangat luas. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Hanya ada satu gadis di mata, hati, dan pikiran Abi, yaitu dirinya. Jangan harap Sani akan rela berbagi dengan gadis lain.

Memasuki ruang kelas baru di gedung depan, Sani mencari keberadaan seseorang yang sudah ia suruh untuk menyiapkan kursi.

"Oi, San, sini," panggil seorang gadis sambil melambaikan tangannya pada Sani.

"Duh, makasih banget loh, Nin, udah mau gue repotin. Hehehe..." ujar Sani.

"Santai aja mah kalo sama gue."

"By the way, Abi duduk di mana, ya?" tanya Sani.

Ninda tersenyum. "Tuh, tepat di belakang lo," jawabnya sambil menoleh ke meja Abi.

Belum ada tanda-tanda kalau kedua manusia penghuni meja itu datang. Hingga sepuluh menit berlalu, tepat saat bel untuk upacara berbunyi, Abi dkk datang.

Cowok itu terkejut saat melihat Sani sudaj berbalut seragam sekolah dan duduk di depannya.

"Surprise!" seru Sani sambil merentangkan tangan, yang kemudiam disambut hangat oleh pelukan Abi—dengan ekspresi wajah yang masih terkejut.

"Kamu kok udah masuk? Nggak dikasih libur emang?" bisik Abi.

Di dekapan Abi, Sani menggeleng pelan. "Nggak sabar pengen ngabisin hari sama kamu lagi," jawabnya.

Sementara itu, kedua sahabat Abi yaitu Hendra dan Riko serta seorang gadis bernama Ninda memandang mereka dengan malas.

"Baru aja gue bersyukur nggak liat mereka mesra-mesraan sebulan, eh sekarang udah balik lagi," ujar Hendra.

Riko yang mendengarnya merasakan darahnya tiba-tiba naik sampai ubun-ubun. "Heh! Lo sama aja! Lo pikir gue nggak enek apa liat lo sama si Ninda berduaan mulu, sampe ke toilet aja dianterin," balasnya tidak terima.

Jika dilihat-lihat, memang hanya Riko yang masih berstatus single di antara mereka bertiga. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana rasanya menjadi Riko yang tiap hari menjadi saksi bisu kedua sahabatnya saat pacaran. Apalagi, sekarang Sani sudah kembali. Membuat hari-hari suramnya semakin menjadi saja.

"Hei, kalian kenapa masih di sini? Nggak denger bel upacara udah bunyi? Cepetan ke lapangan?!"

Suara cempreng milik Bu Arin yang merupakan guru BP menggema di tiap sudut kelas. Abi buru-buru mengurai pelukannya sebelum perhatian Bu Arin mengalih kepadanya. Untung saja, ada Hendra dan Riko yang siap sedia menutupinya juga Sani.

"Iya, Bu, ini mau ke lapangan kok. Masih nyari topi, Bu," ujar Hendra sambil berpura-pura mencari topi. Padahal, topinya sendiri sudah ia pakai sejak datang.

"Trus, yang ada di kepala kamu itu apa kalo bukan topi?"

Hendra lalu meraba kepalanya. "Oh iya, udah saya pake ternyata, Bu. Hehehe..."

Bu Arin terlihat menggelengkan kepala. Sebelum ocehannya kembali berlanjut, mereka lalu mengambil topi dan segera berlari menuju lapangan. Mengabaikan Bu Arin yang memandang geram mereka. Ingin sekali beliau menghukum mereka, tapi kebanyakan dari mereka sudah menyumbang beberapa piala dari berbagai lomba. Jadi, yang bisa beliau lakukan hanyalah mengingatkan dengan nada tegas.

~•~•~

CHANTIKWhere stories live. Discover now