05 [Hari H]

2 1 0
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah mengalami proses pemikiran yang cukup panjang, akhirnya Icha ikut untuk memeriahkan acara putra-putri sekolah sebagai penonton sekaligus pendukung kelasnya.

Kali ini, Icha berangkat bersama Reta alias nebeng. Jadi, sekarang ia sedang duduk manis di kursi depan rumah sambil menunggu kedatangan Reta.

Tak lama kemudian, Reta datang dengan motor matic berwarna birunya. Ia melambaikan tangan pada Icha yang langsung menghampiri Reta.

Setelah menutup gerbang rumahnya, Icha lalu  naik ke jok belakang dan Reta pun mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Tak lupa, Icha memakai helm berwarna biru mudanya. Cukup senada dengan motor milik Reta ternyata.

Sekitar lima belas menit mereka melanglang buana di jalanan, akhirnya mereka sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motor, Reta menghampiri Icha yang tengah menunggu di dekat pos satpam dan mereka pun berjalan masuk.

"Duh, gue nggak sabar nih liat Fian. Pasti ganteng banget," oceh Reta sepanjang perjalanan menuju lapangan. Telinga Icha rasanya panas mendengarnya. Memangnya dia saja yang pengen liat Fian? Icha juga pengen kali, tapi bukan Fian, melainkan Abi.

Begitu sibuk Icha memikirkan Abi dan membayangkannya, ia sampai tidak sadar bahwa jalan di depannya sedikit menurun hingga membuatnya—

DUG!

"Aduh!"

—terjerembap. Icha yang saat itu memakai celana berbahan tipis membuat kain celananya di bagian lutut sedikit sobek dan lututnya pun terluka karena bergesekan dengan paving. Tangannya pun ikut terluka di bagian telapak. Rasanya sangat perih, membuat Icha ingin menangis saja. Apalagi, saat melihat banyak orang yang mulai berdatangan ke arahnya untuk melihat apa yang terjadi.

"Cha, lo nggak pa-pa kan? Duh, pake acara nyungsep segala lagi. Sini, gue bantuin berdiri," ucap Reta khawatir. Ia meraih lengan Icha dan menariknya untuk berdiri.

Reta lalu memapah Icha menuju UKS. Untung saja, letak UKS dekat dengan lapangan, jaraknya pun tak sampai dua meter.

"Gue bantu."

Icha merasakan sebuah lengan mengalung di pinggangnya, lalu tangannya yang bebas diarahkan ke leher pemilik lengan itu. Begitu Icha menoleh, ia tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya hingga ia langsung menarik tangannya kembali. Alhasil, ia pun kembali jatuh dengan posisi yang sama. Kali ini, bagian bawah lengan kanannya yang kembali tergores karena bergesekan dengan paving. Duh, double sial sudah Icha dapatkan hari ini.

"Eh, Cha!" seru Reta. "Duh, jatuh lagi lo, Cha, sakit nggak?"

Sungguh pertanyaan terbodoh yang pernah Icha dengar. Sudah tahu ia jatuh dua kali, masih ditanya sakit apa nggak? Jelas sakitlah.

"Mau ngerasain, Re? Sini, gue jorokin."

"Duh, malah main jorok-jorokin. Lo lagi jadi bahan tontonan nih."

Perhatian Icha langsung teralihkan. Ia menoleh ke kiri, tempat suara itu berasal. Di sana, tak sampai tiga puluh senti, wajah laki-laki yang baru saja ia bayangkan ada.

Icha lalu menggelengkan kepalanya. Seolah menghapus siapapun yang kini berada di bayangannya. Ia pun meminta Reta untuk membantunya berdiri.

Namun, bukannya membantu, Reta malah meninggalkan Icha. Huh, dasar teman kurang ajar!

Akhirnya, Icha pun berusaha untuk berdiri sendiri, walau rasa perih langsung menyerang ketika ia berdiri. Dengan tertatih, Icha berjalan menuju UKS yang tinggal beberapa langkah saja.

Namun, lagi-lagi Icha merasakan sesuatu menyentuh pinggang serta tangannya. Ia kembali menoleh. Sama seperti beberapa detik yang lalu, bayangan laki-laki itu masih ada di sana. Kini, dia membantu Icha berjalan dengan memapahnya.

"Lo emang nggak suka ditolong, ya?"

Suara itu terdengar lagi oleh Icha, rasanya seperti nyata. Sampai-sampai, ia merasakan hembusan napas di telinganya. Oh Tuhan, apa ini memang nyata?

Icha masih bergelut dengan pikirannya ; apakah dia memang Abi atau hanya lelaki di khayalannya saja?

Hingga mereka sampai di UKS. Untung saja ruangan itu tidak dikunci, walau tidak ada yang piket karena memang sedang hari libur.

"Chan?" panggil laki-laki itu.

"Chan?" beo Icha.

Tanpa dikomando, memorinya tiba-tiba saja terputar, kembali di masa ia kecil, saat masih duduk di bangku SD. Hanya teman-temannya semasa SD saja yang memanggil nama depannya.

Jadi, lelaki tadi memang benar-benar Abi? Abi yang itu? Abi temannya saat SD? Abi yang selalu ia rindukan? Abi yang selalu ada di khayalannya? Abi yang—

"Chan? Gue tahu pasti rasanya sakit banget. Tapi jangan nangis dong, gue jadi takut nih. Gue cuma mau bantuin lo doang kok, nggak ada maksud lain. Nggak bakal gue apa-apain juga di sini," ujar Abi panik begitu melihat setetes air mata jatuh dari mata Icha.

"Hah?" Hanya kata itu yang saat ini bisa Icha keluarkan. Dadanya tiba-tiba saja sesak saat tahu kalau laki-laki di depannya saat ini memang benar-benar Abi, tenggorokannya pun ikut sakit karena menahan tangis. Ia bahkan tidak tahu sejak kapan ia menangis. Efek terlalu bahagia serta rindu yang mendalam bercampur menjadi satu, membuat Icha sampai tak bisa berkata-kata.

Suara ponsel memecah keheningan. Icha seperti tertarik kembali ke masa sekarang. Ia tak sengaja melihat layar ponsel milik Abi yang menampilkan panggilan dari Rara. Tanpa pikir panjang, Abi langsung menggeser tombol berwarna hijau dan sedikit menjauh dari Icha.

Tak lama kemudian, Abi kembali dan bilang pada Icha kalau ia harus pergi sekarang. Tanpa menunggu balasan dari Icha, Abi langsung pergi begitu saja.

Huh, Icha menghela napasnya. Sungguh cocok sekali suasana saat ini. Berada di ruangan yang sepi, sendirian pula. Cocok untuknya bergalau ria sambil menangis sepuas-puasnya. Lagipula, Reta pasti sedang menikmati penampilan Fian. Ia juga tidak mau merusak momen bahagianya.

Akhirnya, Icha memilih untuk tiduran dengan posisi menyamping menghadap dinding. Ia lanjutkan kegiatan menangisnya yang sempat tertunda tadi, hingga ia tertidur.

💢💢💢

CHANTIKWhere stories live. Discover now