09 [Sifat Jahil]

1 1 0
                                    

Keesokan harinya, Icha menjalani rutinitas pagi seperti biasa. Berangkat sekolah bersama Reta, menunggunya memarkirkan sepeda, lalu masuk ke wilayah sekolah.

Namun, kali ini sepertinya berbeda. Lebih tepatnya, ada sesuatu yang membuat hari ini berbeda.

Jika biasanya Icha akan mencari keberadaan Abi dengan matanya yang jeli, kali ini cowok itu sudah berada dalam jangkauan mata Icha. Dengan seragam sekolah yang dibalut jaket berbahan jeans serta sepatu converse berwarna hitam putih, Abi nangkring dengan gagahnya di atas motornya.

Mungkin terdengar berlebihan, tapi pemandangan seperti ini sangat jarang atau bahkan tidak pernah Icha lihat, karena selama ini Abi selalu bersama teman-temannya saat di parkiran.

"Yuk, Cha."

Reta berjalan mendahului Icha, tapi Icha tetap bergeming di tempatnya. Ia masih menikmati pesona yang menguar dari seorang Abi.

Hingga Reta menyadari kalau Icha tidak berada di samping maupun di belakangnya. Ia lalu berhenti dan menoleh. Reta menghela napas pelan begitu melihat Icha yang tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.

Sembari menghampiri Icha, Reta mengikuti arah pandang Icha. Ternyata, gadis itu tengah mengagumi sosok yang selama ini hanya berada di khayalannya saja. Siapa lagi kalau bukan Abi?

Berhenti sebentar, Reta lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Dengan permainan tangannya yang sudah ahli, Reta memotret figur Abi. Ia yakin, pasti Icha bangga mempunyai sahabat seperti dirinya. Hihihi...

"Cha, malah bengong di sini," ujar Reta sambil menyentuh bahu Icha dan membuat gadis itu tersentak.

"Eh, Re."

"Ngapain sih?" tanya Reta, pura-pura tidak tahu. Padahal, dalam hati ia sungguh ingin menggoda Icha.

Sedangkan Icha nampak salah tingkah. Namun, jangan lupakan keahlian Icha yang baru, yaitu berpura-pura. Ya, jika Reta bisa berpura-pura tidak tahu, maka bisa dibilang Icha berada satu level lebih tinggi dari Reta.

"Ngadem bentar. Hehehe..." jawab Icha. Kebetulan sekali ia sedang berdiri di bawah pohon, sehingga alasan tersebut cukup masuk akal. Meskipun matahari belum menampakkan sinarnya.

Reta berdecak. Ia tahu jika Icha pintar berpura-pura. Jadi, kebohongan kecil seperti ini sangat mudah terdeteksi olehnya.

"Ya udah, yuk masuk. Keburu ditutup nanti gerbangnya," ajak Reta.

Icha pun mengangguk. Sebelum berjalan menuju area sekolah, Icha sempatkan untuk menoleh sebentar pada Abi. Namun, dahinya berkerut saat melihat Abi sudah tidak ada di tempatnya. Pergi ke mana dia?

~•~•~

Abi memasuki parkiran sekolah yang terletak di belakang gedung. Ya, parkiran ini berada di luar area sekolah. Terdapat satu pintu yang menghubungkan keduanya. Namun, pintu tersebut selalu digembok, hanya dibuka pada saat razia saja.

Kembali pada Abi. Sebelum masuk, Abi menunggu teman-temannya. Ia bersandar pada motornya sambil memainkan game di ponsel.

Beberapa menit kemudian, banyak murid yang sudah datang. Dari sekian banyak murid yang berada di parkiran, hanya satu yang menarik perhatian.

Sejak tadi, Abi memang merasa seperti diawasi. Ia ingin mencari tahu siapa, tapi sebagian dari dirinya menolak. Jadi, ia putuskan untuk tetap berada di posisinya.

Hingga sebuah suara menyapa indera pendengarannya. Meskipun samar dan terdengar jauh, tapi Abi tahu suara siapa itu. Ia lalu mematikan ponselnya dan bersiap untuk masuk, meskipun yang ia tunggu sejak tadi belum ada yang datang.

Benar saja dugaan Abi kalau suara itu milik Icha. Berjarak sekitar lima ratus meter dari tempatnya, ia melihat Icha sedang berbicara dengan temannya. Abi juga berasumsi kalau yang mengawasinya sejak tadi adalah Icha. Ia lalu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Baru juga dua kali mereka bertemu, tapi Icha sudah menarik perhatiannya. Sama seperti saat mereka SD dulu.

Abi lalu memutuskan untuk menyingkir sebentar dari posisinya alias bersembunyi. Begitu ia melihat Icha pergi, ia pun mengikutinya. Semakin lama, langkah pelannya berubah menjadi lari kecil. Saat jaraknya hanya sekitar dua langkah dengan Icha, ia memelankan langkahnya.

Dengan senyum jahil, Abi menarik rambut Icha dengan keras hingga membuat kepala Icha tertarik ke belakang.

"Aduh! Aw! Sakit-sakit!" pekik Icha sambil memegangi rambutnya.

"Eh—eh." Reta pun ikut oanuk. Namun, begitu melihat pelaku dari penarikam rambut Icha adalah Abi, ia hanya tersenyum simpul.

"Siapa sih?!" gerutu Icha sembari membenarkan rambutnya.

Saat itulah Abi muncul dengan tawanya yang menggelegar. Sungguh, ia merasa sangat senang bisa menjahili Icha. Reaksi yang gadis itu berikan selalu memuaskannya.

"Hahaha... Sorry!" teriak Abi sambil berlari, meninggalkan Icha yang masih kesakitan.

Dengan bibir yang mencebik karena kesal, Icha menggerutu, "Ih! Dasar jahil! Sebel gue! Awas aja, bakal gue bales nanti. Duh, sakit banget lagi."

Reta yang berjalan di sampingnya terkekeh. "Emangnya berani?" tanyanya menggoda.

Icha tidak menjawab. Namun, tekadnya sudah bulat untuk membalas perbuatan Abi yang satu ini. Suka sih suka, tapi kalo diginiin mah Icha mana bisa terima. Dulu, dia adalah tipe orang yang suka membalas perbuatan jahil teman-temannya. Meskipun hal itu malah membuatnya semakin dijahili karena mereka semakin suka kalau perbuatannya direspon. Namun, tetap saja Icha tidak bisa terima.

~•~•~

Abi sampai di kelasnya dengan selamat. Napasnya ngos-ngosan karena berlari. Ia pikir, Icha akan mengejarnya, seperti dulu yang selalu gadis itu lakukan. Namun, sepertinya sekarang tidak. Entah gadis itu sudah berubah, atau dirinya yang tidak pernah berubah.

"Eh... Minta minum dong," pinta Abi pada Ninda—pacar dari salah satu temannya di kelas yang kebetulan tengah duduk di depannya.

Ninda lalu mengambil botol minum di tasnya dan memberikannya pada Abi." Nih."

Abi menenggaknya hingga tersisa separuh. "Nanti gue ganti. Makasih," ujarnya.

"Sip," balas Ninda. "Habis ngapain sih sampe ngos-ngosan gitu? Maraton?" tanyanya penasaran.

Abi tersenyum. "Biasa. Menjalani rutinitas pagi sebelum menghadapi guru dan pelajaran yang sama-sama rumit," jawabnya.

Ninda menggelengkan kepalanya. Ia tahu apa yang dimaksud 'rutinitas pagi' oleh Abi. "Dasar jahil."

~•~•~

CHANTIKWhere stories live. Discover now