22 •• Satu hari tanpa Dia

9.2K 696 18
                                    

Upacara yang biasanya terasa cepat entah kenapa terasa sangat lambat untuk hari ini.

Hari Senin merupakan rival bagi kelas duabelas IPA satu. Kelas siapa lagi kalau bukan kelas Devon. Setiap hari Senin merupakan hari paling sial bagi kelas itu. Ujian mendadak yang sangat dihapal para murid setiap pelajaran Bu Nandy sudah seperti makanan wajib di kelas itu.

Bagi murid pintar seperti Devon, ulangan mendadak seperti itu bukanlah hal yang harus ditakuti. Berbeda dengan para murid yang kebingungan mencari contekan. Pelajaran Matematika merupakan sekian dari seluruh pelajaran yang paling disukai Devon. Fila yang duduk sebangku dengan Devon pun begitu, gadis itu juga tidak kalah pintar dari Devon.

"Von, gue nanti nyontek lo ya. Kali ini gue traktir gratis deh kalau lo mau nyontekin gue," bisik Roy ke arah Devon.

Lelaki itu sudah sangat hapal dengan sahabat satunya ini. Setiap ulangan seperti ini, Roy pasti menyuapnya dengan iming-iming traktir gratis. Padahal, setiap selesai istirahat dan makan di Kantin, Devon harus merelakan uangnya untuk membayari makanan sahabatnya itu. Apalagi kalau alasannya ketinggalan uangnya. Devon hapal betul dengan Roy. Berbeda dengan Roy, Pian justru tidak pernah mau diconteki oleh Roy walaupun sahabat sekalipun. Menurutnya, hasil pekerjaannya sendiri lebih penting daripada nilai bagus tapi contekan.

"Nggak! Kali ini lo cari sendiri jawabannya!" ucap Devon cuek, Roy yang mendengar ucapan sahabatnya itu langsung mencebikkan bibirnya.

"Jawab sendiri ROY!" ucap Pian sedikit mengejek, sambil menekan kata Roy tepat di telinga lelaki itu.

Roy yang melihat kelakuan dua sahabatnya itu semakin lemas. Tidak ada yang mau dimintai contekan. Mau tidak mau, ia harus menjawabnya sendiri.

Kertas ujian yang telah dibagikan membuat para murid yang melihat soalnya bergidik ngeri sendiri. Kalau sudah seperti ini, benar-benar tamat riwayat mereka.

Angka-angka yang bertebaran sana-sini itu membuat para murid mau tak mau harus memijit pelipisnya.

"Edan! Ini soal apa cakaran ayam?" ucapan Roy yang sedikit keras itu mengundang perhatian semua murid termasuk Bu Nandy.

"Ngomong apa Roy kamu tadi!" tanya Bu Nandy mendekatinya sambil berkacak pinggang. Siap-siap ingin menjewer telinga lelaki itu.

"I-itu buk, a-anu..., akhhhh sakit buk!" jawab Roy dengan gugup setelah mendapatkan hadiah jeweran dari Bu Nandy.

"Makanya kalau di rumah itu belajar Roy, belajar!" ucap Bu Nandy kalap.

"Saya udah belajar buk, tapi otak saya nggak nyampek kalau dikasih soal kaya' ini," Semua murid yang mendengar itu langsung tertawa. Memang, Roy di kelas duabelas IPA satu sudah seperti bahan ejekan bagi para murid.

"Pusing saya kalau ngomong sama anak kaya' kamu!" ucap Bu Nandy lagi.

"Ya kan saya juga nggak minta ibuk ngomong sama saya? Itu salah Bu Nandy sendiri! Kenapa bawa-bawa saya?" Lagi, telinga Roy mendapatkan jeweran dari Bu Nandy. Guru itu sudah menahan amarahnya di ubun-ubun setiap berbicara dengan Roy.

"Sudah semuanya kerjakan, dan untuk kamu Roy! Setelah istirahat temui saya di kantor!" Roy hanya bisa menelan ludah kasar. Jika sudah seperti ini, pasti ia akan mendapatkan hukuman dari guru itu.

~BUCIN~

Para murid yang berbondong-bondong berlarian ke kantin untuk memanjakan perut harus rela mengantri.

"Gue traktir ya..." ucap Fila kepada Devon, Pian, dan Roy.

"Nggak usah yang, lagian kita pasti bayar sendiri," ucap Devon halus.

B U C I NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang