O8

7.5K 1.2K 175
                                    

"Hi son, how are you?"

Jeno terkejut, ia baru saja masuk kerumah setelah tadi mengantar Jaemin pulang dan kini ada ibunya yang tiba-tiba sudah duduk rapi di ruang tamu, mengenakan piyama dan tampak segar. Wanita cantik itu lalu melambaikan tangannya dan menyuruh anaknya yang baru datang untuk duduk di kursi yang berada di hadapannya.

"Ibu sudah pulang? Tapi kapan?", tanya Jeno. Pemuda pirang itu membawa tubuhnya untuk duduk di atas sofa yang empuk.

Agathe tersenyum, dihadapannya sudah tersaji iced latte yang baru sekitar sepuluh menit lalu ia beli, dibukanya kantung kertas pembungkusnya lalu disodorkannya satu gelas kopi itu pada anaknya. "Ini, ayo bercerita pada Ibu apa saja yang sudah kamu lalui selama ini. Ibu ingin mendengar segalanya."

Si pemuda pirang menaikkan salah satu alisnya, bingung, takut saja jika sebenarnya ibunya telah diberitahu informasi atau berita yang tidak-tidak soal dirinya. Pasalnya selama ini orang yang sudah melahirkannya itu tidak pernah menanyakan kegiatannya secara tatap muka, biasanya hanya lewat telepon atau pesan saja.

"Well, selama ini aku tidak pakai narkoba, tidak mabuk-mabukan di klub malam, tidak menghamili anak perempuan, dan tidak membuat tato di badan. Aku juga tidak merokok tetapi beberapa hari ini aku makan tidak teratur karena sangat malas."

Suara kekehan ringan terdengar dari mulut ibu Jeno, wanita itu cukup terhibur karena jawaban anaknya, padahal maksudnya bertanya seperti tadi itu adalah untuk mendengar keluh kesah Jeno sebagai seorang remaja yang mengalami pubertas dan bukan menginterogasi dirinya. Agathe yakin jika anak tunggalnya itu pemuda yang baik-baik, selama ini dia punya Haechan sebagai sumber informasi atas segala kegiatan Jeno, tapi kali ini dia ingin mendengar langsung dari narasumbernya.

"Ibu tahu kamu anak yang baik, tapi sekarang maksud Ibu adalah bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah lama kan kita tidak membuka sesi percakapan ibu-anak seperti ini."

"Oke, aku baik...... seperti biasanya."

"You don't want to tell me about Jeremy?"

Suara sedotan plastik Jeno yang menusuk lapisan permukaan cup kopi menjadi bunyi latar atmosfer canggung itu, ditambah lagi pengharum ruangan di sudut ruang tamu baru saja menyemprotkan isinya, bau mangganya menyeruak memenuhi saraf sensori di hidung Jeno. "Ibu tahu tentang Jeremy?"

Agathe menganggukkan kepalanya, "Iya Ibu tahu, Dylan yang menceritakannya. Jeremy ini anak tetangga sebelah kan? Jujur Ibu suka keluarga mereka, sangat sopan dan baik hati."

Kopi berkrimer itu disedot oleh si pemuda bermata biru, cairan coklat kental dengan rasa pahit yang bercampur gurihnya susu kondensasi dan dinginnya es batu meluncur masuk ke dalam kerongkongannya. Malam hari mendekati dini hari dan segelas kopi dingin bukan kebiasaan sehat, tapi hal ini adalah sesuatu yang membahagiakan dan adiktif.

"Ibu, kamu tidak marah kan anak tunggalmu ini menyukai laki-laki?" ucap Jeno was-was. Walaupun sebenarnya pastinya dia tidak mungkin ditolak dalam keluarga sebab keluarga besarnya sendiri bukan penganut paham konservatif. Haechan sendiri juga seorang gay dan orang tuanya tidak ambil pusing akan hal ini, tetapi posisinya Haechan ini adalah anak bungsu sedangkan dirinya anak tunggal. Jeno takut ibunya akan kecewa karena dia tidak bisa memberi keturunan sesuai harapan.

"Kapan Ibu bilang mempermasalahkan seksualitas anak Ibu sendiri? Lagipula jika nantinya kamu memang berakhir menikahi Jeremy, kalian bisa melakukan adopsi seperti pasangan sesama jenis lainnya, tidak ada masalah. Negara saja sudah merestui hubungan sesama jenis, memang siapa Ibu boleh melarangmu?"

Ibu satu anak itu serius dengan perkataannya. Tidak ada masalah dengan apa yang dipilih oleh anaknya, Jeno ingin menjadi apa saja Agathe pasti mendukung, asalkan segalanya masih menuruti tata tertib dan tidak melanggar salah satu aturan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Homoseksualitas bukan tindakan kriminal maupun penyakit mental, ini adalah suatu pilihan hidup yang dipilih oleh manusia sebagai makhluk berakal.

A Box of Happiness | Nomin☆Where stories live. Discover now