Chapter 8

8.4K 672 40
                                    

"Al..." entah kenapa kali ini suara itu lebih terdengar seperti buaian dari pada permohonan. Tapi Iris tidak paham permohonan seperti apa yang dia suarakan. Apakah sebuah permintaan untuk berhenti atau malah melanjutkan? Dia tidak lagi paham dengan perubahan situasinya juga perubahan hatinya.

"Katakan. Akui. Setelahnya aku berhenti," pinta Aldric. Tangan pria itu yang bebas sudah ada di atas dada Iris. Meremas bagian itu hingga membuat tubuh lembut itu mengejang dengan apa yang dia lakukan. Aldric begitu suka bagaimana Iris bereaksi atas sentuhannya.

"Kau tidak bisa melakukan ini, Al. Kau tidak bisa..."

Aldric menurunkan leher baju gadis itu yang memang longgar. Memperlihatkan kulitnya yang memiliki begitu banyak bekas ciuman di sana. Bahkan mungkin lebih banyak bekas lagi di payudaranya yang sekarang masih tertutup bra. Aldric tergoda untuk memastikannya namun sekarang cukup. Pria itu takut jika dia sampai melihat payudara itu, dia tidak akan bisa menahan dirinya.

Sekarang saja dia sudah tidak kuasa menghentikan dirinya. Jadi dia tidak bisa berbuat sejauh itu. Bukannya dia tidak ingin meniduri gadis itu lagi. Hanya saja tidak di sini. Tidak di tempat seperti ini. Dengan cara begini juga tidak.

"Aku mencium dengan cukup banyak bagian ini." Tangan Aldric mengelus kulit di atas payudara Iris. Bekas ciuman terbanyak memang ada di sana. Dengan cap tidak beraturan sama sekali. Jelas Aldric mencium untuk menahan gejolak hasratnya yang memburu.

Iris diam. Dia menatap marah pada pria itu. "Kau dapatkan yang kau inginkan. Sekarang lepaskan aku."

Aldric tidak ingin tapi dia telah mengatakan hal itu. Jadi dia tidak bisa mengingkari apa yang telah menjadi ucapannya. Dia akhirnya melepaskan tangan gadis itu dan juga menjauhkan dirinya agak jauh dari tubuh lembut itu. Dia takut akan hilang kendali.

Iris segera merapikan kembali bajunya. Dan coba memungut habis harga dirinya. Dia bergerak lebih cepat untuk masuk ke salah satu bilik toilet namun Aldric dengan segera menghadangnya. Menciptakan perlawanan yang cukup hebat di antara keduanya.

"Kau tidak bisa ke mana-mana," tegas Aldric.

"Menyingkir dariku. Aku tidak ingin satu ruangan denganmu."

"Bukan kau yang memutuskan, Iris. Aku. Akulah yang memutuskan segalanya sekarang atau kita bisa mengatakan kebenarannya pada media sekarang juga. Mereka masih di luar sana," tantang pria itu. Dia bersungguh-sungguh dengan tantangan itu.

Iris memandang dan mengalah. Dia tidak akan seberani itu karena Kelvin akan menjadi taruhan terkuatnya. Aldric jelas akan bahagia jika Kelvin sampai terluka dalam hal ini. Namun Iris tidak akan bahagia dengan itu semua. Dia akan menyalahkan dirinya seumur hidupnya jika sampai Kelvin terluka karena dirinya.

"Tidak berani?" tanya pria itu seolah tidak tahu jawabannya.

Iris mendengus dan bersedekap dengan pongah. Atau setidaknya itu yang dia niatkan. "Apa yang akan kau katakan pada mereka?"

"Hmm mungkin kau akan berubah menjadi istriku. Karena kakakku tidak bisa memberikan kepuasan padamu sebagai seorang perempuan. Dia tidak pernah menyentuhmu hingga aku mendapatkan keperawananmu."

Dan begitu saja tangan Iris melayang ke wajah Aldric. Memberikan tamparan yang keras kepadanya. Tubuh gadis itu bahkan gemetar karenanya. Amarah yang begitu besar meluap di sana.

Aldric memegang pipinya dengan seringaian. "Kau baru saja menamparku?"

"Kau pantas mendapatkannya."

"Berarti kau juga pantas mendapatkan ini." Aldric segera maju. Melumat bibir gadis itu dengan kasar dan tanpa menahan dirinya. Dia bahkan tidak peduli jika itu menyakiti gadis itu. Aldric menyudutkan Iris di dalam ruangan kecil itu. memberikan tekanan pada setiap sentuhannya. Hingga tidak ada jalan bagi Iris melawannya. Dia melecehkan gadis itu dengan kemarahannya yang merajalela.

Black Passion | Watson #1 ✓ TAMATWhere stories live. Discover now