18. Bride Of Death

997 133 45
                                    

_____________________________

BRIDE OF DEATH
_____________________________

Khalayak mendeskripsikan Sang Kematian selaku manifestasi angkara yang doyan menyembunyikan jemala di balik tudung hitam. Badannya sekadar kerangka dibalut jubah panjang dengan buntut menyapu tanah serta sepasang sayap lebar mencuat di punggung ringkih nan bungkuk yang ditopang gagang arit raksasa bermata tajam. Langkahnya terseok-seok dan lamban. Di sepanjang jalan, ia membekaskan jejak langkah berupa aura kelam bernama frustrasi dan kesedihan.

Sang Kematian merupakan maujud absolut dari luka dan air mata yang tidak akan mampu diingkari bahkan jika kau nekad menelusuk ke inti bumi. Mau sebanyak apa pun hartamu, kau tidak akan bisa membelikannya tiket pesawat keliling dunia cuma supaya dapat satu-dua kesempatan buat menghidar. Ajal tidak berjalan seperti itu, Sayang. Saat di mana ia berdiri menghadapmu, maka di waktu itu pula kau akan menemukan diri sendiri menyongsong uluran tangannya. Mau tidak mau; suka tidak suka.

Kematian adalah hal paling mengerikan sekaligus paling menyedihkan bagi manusia.

Well, bukankah itu konyol?” bisik Chaeyoung pada diri sendiri. Keningnya mengernyit. Ia tidak mengerti, kenapa masyarakat ramai mesti menjabarkan entitas Sang Kematian dengan cara sekotor itu? Kenapa mereka tidak pernah menguraikan Sang Kematian selaku empunya senyum menggemaskan yang praktis melebar tiap mata kalian tidak sengaja bersinggungan? Di mana setelahnya, ia akan mengayunkan tungkai yang beralas sepatu trendi menuju dirimu yang menyambut dengan raut terpesona selama meloka suralaya yang merupa di wujudnya.

Surainya adalah ilalang tinggi yang berdansa dalam tempo andante semasa dibelai pawana dengan mesra; alisnya adalah bilah pedang tempaan empu yang dibikin khusus buat berlaga; matanya adalah mutiara jelaga yang terkemas dalam peti harta karun di dasar samudra; hidungnya adalah sudut siku-siku piramida; bibirnya adalah busur milik Eros yang kerap melayangkan panah cinta; dadanya adalah sebidang tanah belantara yang patut diukur luasnya menggunakan meteran hasta; sedangkan tangan dan kakinya adalah batang jati yang panjang, tinggi, kokoh, dan kuat untuk dijadikan sandaran selagi membangun rumah tangga.

Dengan penjabaran seperti itu, sudah jelas jawabannya bahwa Sang Kematian merupakan bidadara suraloka. Karena sejujurnya, impresi itulah yang senantiasa Chaeyoung temukan dalam presensi Taehyung yang kerap menemuinya buat sekadar menginformasikan perkara tenggat usianya yang tinggal beberapa hari saja.

Seperti kali ini. Sang Kematian yang membungkus dirinya dalam balutan setelan celana jins longgar dan jas yang melapisi kemeja hitam bermotif bunga matahari itu muncul lagi di kamar rawat yang sejak lebih dari tiga bulan lalu Chaeyoung inapi demi memenuhi keinginan keluarganya. Selama itu pula, Taehyung sering nongol dari antah-berantah dan mengajaknya menyelami hidup dan mati lewat klausa-klausa yang lebih terdengar semacam mantra kama jika ia yang mengucapkannya. Tanpa protes ataupun merasa terbebani karena bahasan berat yang ditimpakan Sang Kematian, si gadis justru menyambut vokal Taehyung yang bertamu di kokleanya dengan ramah dan hangat. Ia bahkan menyajikan suguhan supaya suara rendah nan dalam tersebut betah berlama-lama sekaligus tidak kapok bertandang lagi ke sana.

“Apanya yang konyol?” tanya Taehyung. Ia mendaratkan bokong di bantalan kursi di samping kiri ranjang Chaeyoung.

“Huh?” Chaeyoung mengerjap dua kali, sebelum teringat kalimat yang diembuskannya sewaktu mendapati Taehyung berdiri di ambang pintu tadi. “Cara bagaimana manusia yang masih hidup menggambarkan wujudmu,” jawabnya.

“Memangnya bagaimana cara mereka merefleksikan diriku?”

“Katanya, Sang Kematian itu menakutkan.”

𝐃𝐫𝐞𝐚𝐦𝐜𝐚𝐭𝐜𝐡𝐞𝐫 Where stories live. Discover now