O2

74 18 8
                                    

Musim semi tahun 2017.

Aku menatap sebuah notebook berwarna biru tua yang baru kubeli kemarin. Lembar pertama sampai kelima sudah terisi oleh ocehanku mengenai hal-hal mengerikan yang aku temukan di dalam memori. Rasanya aneh, aku merasa memori itu asing, tapi ia terus muncul ke permukaan seolah itu memang milikku. Tapi kalau memang benar itu milikku, itu artinya aku adalah seseorang yang tidak bisa dimaafkan lagi.

"Serim-a, sedang apa? Kau tidak mau ke kantin?" Aku menatap Eunbi---teman sebangkuku di kelas---yang baru saja bicara.

Buku biru itu segera kumasukkan dalam tas, lantas aku tersenyum tipis dan mulai berdiri dari bangkuku. "Ayo ke kantin, aku lapar," balasku.

Meski aku dan Eunbi berjalan di tengah koridor yang ramai sambil terus mengobrol ringan, tapi entah kenapa pikiranku tidak bisa lepas dari memori-memori aneh yang bermunculan di sana. Hingga akhirnya, kuputuskan untuk bertanya pada Eunbi. Kalau ia adalah teman sebangkuku, harusnya kami dekat dan harusnya ia juga cukup mengenal bagaimana diriku. "Omong-omong, bagaimana pandanganmu terhadap aku?"

Eunbi mengerutkan kening, mungkin merasa aneh karena aku tiba-tiba menanyakan hal seperti itu. "Aneh sekali, kenapa kau tiba-tiba tanya hal seperti itu? Apa kau benaran amnesia?"

Aku tertawa canggung. "Ah, ya begitu, deh. Aku sudah tidak sadar selama satu tahun, jadi otakku melupakan beberapa hal."

Eunbi mengangguk-angguk. "Untung saja otakmu tidak kehilangan kepintarannya, jadi masih bisa mengejar ketinggalan, lompat kelas dan satu kelas lagi denganku. Coba kalau kau jadi bodoh seperti Seokmin."

Entah kenapa, tapi aku refleks tertawa menanggapi kalimatnya. Si Lee Seokmin itu memang dari aku siuman hingga sekarang terus menempel seperti benalu, dan berkali-kali unjuk kebodohan di hadapanku. Sepertinya otak lelaki itu tidak lebih lebar daripada lubang hidungnya. "Aku tidak akan jadi seperti si muka kuda itu," kataku setelah cukup mentertawakan Seokmin. "Jadi bagaimana?"

Eunbi kelihatan berpikir selama beberapa sekon sebelum menjawab, "Akan kukatakan sejujur-jujurnya karena kita sudah dekat," katanya. "Kau itu tipe yang luar biasa menyebalkan. Sebenarnya, setelah melihatmu masuk sekolah lagi, aku agak merasa rindu dengan tingkah menyebalkanmu, itu yang paling ikonik, sih. Kau juga punya mulut tajam yang siap mengkritik siapa saja. Kau itu tidak kenal takut, dan kau juga ramah pada orang-orang. Kau suka tersenyum, tapi kadang senyumanmu itu seolah mengejek."

Aku ber-oh ria selepas Eunbi menyelesaikan jawabannya. Ragu-ragu, aku kembali menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan memori asing itu. "Apa kau menurutmu, aku kejam dan tidak berperasaan?"

Eunbi terkekeh pelan. "Astaga, apa sekarang akhirnya kau sadar kalau kau kejam? Kau tiap hari bertengkar dan berdebat dengan Seokmin, menjadikannya seperti budakmu, dan kadang bahkan kau bilang kalau ingin membunuhnya supaya populasi orang bodoh di dunia ini berkurang."

Aku otomatis terdiam. Membunuh? Apa jangan-jangan, memori asing di kepalaku ini sungguhan milikku?

Aku membuka lembar pertama notebook biru di hadapanku. Membaca kata demi kata yang tertulis di sana, berdasarkan memori asing pada otakku.

'Siang itu, aku sedang berjalan-jalan dan tidak sengaja melihat seorang gadis yang sepertinya kukenal sedang dikeroyok dan diperlakukan dengan tidak hormat oleh segerombolan lelaki di gang sempit. "Para lelaki itu memuakkan sekali. Mereka tidak punya harga diri karena berani-beraninya mengeroyok seorang perempuan," aku menggumamkan kalimat itu. Tadinya mau kubiarkan saja, tapi mungkin sangking tidak tahan, aku mengikuti mereka sampai ke tempat perkumpulannya. Aku membunuh mereka hanya dengan sebuah batu. Rasanya memuaskan waktu melihat ekspresi ketakutan dari wajah mereka satu per satu. Mereka bahkan sempat memohon agar dibiarkan hidup, tapi tentu saja itu bukan urusanku. Palingan, besok polisi baru akan menemukan jasad mereka. "Ah, kalau otak mereka tidak dipakai, memang lebih cocok buat dihancurkan saja".'

Aku membuka lembar berikutnya, tapi semakin kubaca, rasanya semua hal itu makin terasa seram. Seolah-olah aku sudah membunuh banyak orang dengan mudah. Tapi masa aku benaran melakukan hal itu?

Aku menutup notebook setelah membaca sampai ke akhir tulisan. Sebenarnya, masih banyak potongan kejadian yang belum sempat kutulis di sana. Rasanya tanganku tidak sanggup kalau harus menuliskan hal-hal mengerikan seperti itu lagi.

Waktu di sekolah tadi, aku sudah bertanya pada teman-temanku tentang orang seperti apa aku ini, tapi mereka menjawab dengan jawaban yang menunjukkan kalau aku ini normal, dan memori-memori itu mungkin bukan milikku. Tapi kalau bukan milikku, lalu dari mana mereka berasal?

Lagipula, kalau aku sungguhan membunuh banyak orang, tanganku tidak mungkin gemetaran, pikiranku tidak mungkin kacau dan ketakutan tiap mengingat memori itu. Sebenarnya aku ini kenapa?

Tahun 2020.

"Kali ini kau akan berpusat untuk mengungkap kasus pembunuhan itu?" Sambil menyuap sepotong apel ke dalam mulutnya, Seokmin lantingkan pertanyaan padaku.

Aku menggeleng pelan. "Tidak, aku belum menemukannya," kataku. Pandanganku menerawang pada notebook biru tua di depan kami.

"Apa yang belum kau temukan? Variabel untuk mengungkap kasus itu?"

Kugelengkan lagi kepalaku. "Intinya kasus itu belum seharusnya diungkap."

Seokmin meletakkan garpunya ke atas piring hingga sebabkan dentingan keras. "Hey, aku sebagai pembaca setia Lacuna sudah menunggu selama dua tahun supaya kau mengungkap siapa dalang di balik kasus pembunuhan itu. Apa kau akan membiarkan pembaca lainnya menunggu juga? Katanya kau mau meluncurkan Lacuna jilid selanjutnya? Memangnya buku itu mau kau isi apa lagi, hah?"

Aku melayangkan tatapan malas pada Seokmin. "Memang siapa yang menulis Lacuna, hah? Aku, atau kau?"

Aku meraih notebook di meja, bersiap meninggalkan Seokmin sebelum kepalaku tambah pusing mendengar pertanyaan beruntun darinya.

Namun, lelaki itu kembali bersuara, "Aish, kenapa kau terus membuatku penasaran dengan alur cerita itu? Lagipula, sebenarnya kenapa kau selalu membawa-bawa buku biru itu?"

Aku menoleh, menatap sinis pada Seokmin. "Hey, kuda, mendingan kau habiskan apelmu daripada mengoceh seperti kuda kelaparan," kataku lalu berjalan ke kamar mengabaikan Seokmin yang keluarkan sumpah serapah dari mulutnya.

Begitu sampai di kamar, aku langsung menuju ke meja kerjaku. Tanganku membuka kembali lembar terakhir dari notebook biru itu.

"Jung Aster, hidup di keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang padanya, punya banyak teman, dan tidak ada masalah dalam bersosialisasi," aku membaca kalimat yang tertulis di sana.

Kalimat itu adalah potongan terakhir dari memori asing beberapa tahun lalu. Selain itu, aku sudah menuliskan kejadian-kejadian mengerikan lainnya dalam buku ini. Buku ini adalah awal mula aku memutuskan untuk menulis cerita Lacuna. Semenjak itu, aku seperti terus mendapat bisikan mengenai adegan apa atau kejadian apa yang harus kutulis. Namun, hingga sekarang aku belum juga mendapatkan perintah untuk mengungkap kasus-kasus di buku itu seperti sebelum-sebelumnya. Apa yang aku dapatkan hanya soal pembunuhan itu masih berlanjut hingga sekarang. 

Aku tahu kalau memori itu bukan milikku, tapi milik seseorang bernama Aster seperti yang tertulis di lembar terakhir. Yang jadi pertanyaan, kenapa memori itu bisa ada di kepalaku? Terlebih lagi, kenapa seseorang yang hidup dengan penuh kasih sayang seperti Jung Aster membunuh orang-orang tanpa rasa kasihan?

[]

Intinya, bakal ada lumayan banyak peralihan waktu dan hal hal membingungkan di sini.

𝙇𝙖𝙘𝙪𝙣𝙖 °Where stories live. Discover now