O4

44 18 4
                                    

   
       Aku menatap satu per satu orang yang berada dalam ruangan ini. Wajah mereka semua asing, belum ada satu pun yang pernah kujumpahi. Begitu juga dengan wanita paruh baya yang sedari tadi menggenggam tanganku.

Pintu kamar terbuka disusul dengan pria bersetelan hitam yang masuk dan langsung menghampiri si wanita paruh baya.

"Nyonya, sepertinya kondisi Nona Aster sudah sampai ke media. Sekarang mereka ribut menanyakan kondisinya," ujar pria itu.

Yang diajak bicara menghela napas panjang, kemudian berdiri dari duduknya setelah melepas genggaman pada tanganku. "Aster, Mama pergi dulu, ya? Kau baik-baik di sini," katanya padaku sebelum resmi ke luar ruangan.

Selepas wanita tadi ke luar, orang-orang yang semula di dalam juga ikut ke luar, menyisakan aku seorang diri di dalam sana.

Aku memejamkan mata selama beberapa saat. Situasi macam apa ini? Sebenarnya, aku di mana? Kenapa semua orang begitu asing bagiku? Kenapa mereka memanggilku dengan nama orang lain?

Aster, rasanya nama ini tidak asing.

Mataku membelalak segera setelah menyadari nama itu. Susah payah, aku turun dari kasur dan melongok ke bawah ranjang pasien. Jung Aster, begitu kata yang tertulis di kertas di bagian bawah ranjang.

Aku mencocokkan nama dan tanggal lahir dengan memoriku sendiri, dan hasilnya, Aster yang ini sama dengan Aster yang kutulis sebagai tokoh di Lacuna.

Bagaimana bisa? Jadi, apa aku masuk ke dalam novelku sendiri sebagai pemeran utama?

Ketika jarum panjang dan pendek jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, mataku masih betah terjaga dengan ponsel di genggaman tangan.

Benda ini dikunci dengan sidik jari, tapi tetap bisa terbuka ketika aku mencobanya. Itu artinya, aku dan Aster memang punya sidik jari yang sama.

Waktu semakin dipikir, rasanya aku makin merasa dibodohi oleh kejadian ini. Yang benar saja, aku pikir, terlempar ke dunia komik atau novel itu cuma fiksi, imajinasi.

Aku membuka sosial media, siapa tahu bisa menemukan informasi di sana. Lagi pula, aku juga tidak terlalu mengenal bagaimana Jung Aster ini. Kendati memang aku yang menulis Lacuna, tapi desain karakter dalam novel itu tidak murni dari diriku. Sebagian tentu saja karena memori asing yang sampai sekarang masih jadi tanda tanya.

Semua yang aku temukan di sosial media milik Aster memang menunjukkan kalau gadis itu adalah publik figur. Aster sama dengan Aster dalam novelku, artis muda berbakat yang namanya diagung-agungkan dalam dunia televisi.

Aku memeriksa siapa saja yang berteman dengannya, yang kutemukan juga tidak jauh beda. Semua orang-orang itu adalah tokoh dalam Lacuna.

Kalau aku benaran masuk ke dalam novelku sendiri, maka itu artinya, aku punya tanggung jawab untuk menyelesaikan sesuatu. Sebuah kasus yang sudah dari lama tidak bisa kutemukan penyelesaiannya.

Suara ketukan pintu mendadak terdengar. Kemudian, seseorang menyusul masuk tidak lama setelahnya. Wajah itu juga termasuk asing, tapi saat aku melihat kartu penanda yang mengalung di lehernya, aku baru sadar kalau ia juga ada dalam Lacuna.

Im Soojung—manajer Aster.

"Apa saja yang kau lakukan sampai bisa terjadi hal begitu?!" Wanita itu berteriak kesal padaku.

Kalau di Lacuna, Soojung memang dikenal dengan tempramennya yang buruk dan kasar. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali, kata para pembaca. Ternyata setelah melihat langsung, memang benar. Soojung itu wanita yang mengerikan.

Melihat aku cuma diam menatapnya, Soojung menghela napas, lantas duduk di kursi dekat ranjang. Soojung menjelaskan banyak hal padaku, mulai dari media yang geger akibat kecelakaanku, dan banyak hal lain.

Namun, saat itu pikiranku malah melayang ke hal lain. Perihal bagaimana bisa aku ada di sini, dan kenapa aku harus ada di sini? Juga hal penting yang sedari dulu belum kutemui penyelesaiannya. Jung Aster itu, sebenarnya orang yang bagaimana?

Gedung tua dengan papan bertuliskan 'Agen Detektif DK' yang sudah mau roboh itu kini resmi kedatangan dua penghuni baru. Setelah sebelumnya si pemilik hanya menjalankan bisnis sendirian, sekarang ia punya dua orang partner.

“Astaga, aku senang sekali karena kalian berpikir secara bijak dan datang ke mari.” Lelaki dengan wajah kuda yang sekaligus sebagai pemilik bisnis itu tersenyum lebar menyambut kedua rekannya.

“Berisik,” gumam salah satu di antara mereka.

Lelaki itu sempat kaget waktu ditatap tajam oleh sosok yang baru saja bicara. Namun, bukan ia namanya kalau tidak terus bicara meski sudah diperingati. “Aku akan memperkenalkan diri sekali lagi. Namaku Lee Dokyeom, pemilik agen detektif swasta ini. Orang-orang biasa memanggilku DK.”

“Aku harap kau bukan penipu yang cuma bisa menjanjikan sesuatu tanpa ditepati,” ucap seseorang yang satu lagi.

Dokyeom tersenyum sekilas sebelum berbalik mencari sesuatu di meja kerjanya. Hingga sepersekian sekon kemudian, tangannya menemukan sebuah amplop cokelat berisi uang yang memang sengaja ia siapkan untuk kedua pendatang baru itu.

Dokyeom melemparkan uang tersebut ke arah dua orang tadi. “Ini uang muka. Aku tidak bohong ‘kan? Kalian bakalan menghasilkan banyak uang kalau bekerja denganku.”

“Oke, kalau begitu aku juga mau berkenalan secara resmi,” satu-satunya gadis di antara mereka bicara. “Namaku Jang Nana. Kalian bisa panggil aku Nana.”

Dokyeom tersenyum menanggapi ucapan Nana. Lantas, tangan dan matanya mengarah pada seseorang yang satu lagi memberi isyarat agar lelaki itu juga ikut memperkenalkan diri.

“Yoon Jeonghan,” responsnya singkat.

“Ah, oke. Jadi mari kita sosialisasi mengenai posisi kalian dulu di sini.”

Nana menyela ucapan Dokyeom, "Tunggu, bukankah kau bilang kau tertarik pada kasus-kasus yang tidak bisa dipecahkan kepolisian negara?"

"Betul sekali. Inilah gunanya detektif swasta. Kami juga tidak perlu menuruti atasan yang mungkin sudah disogok oleh orang lain."

Nana kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Kau selama ini kerja sendirian?"

Dokyeom suguhkan senyum canggung begitu ditanya oleh Nana. "Sebenarnya aku punya beberapa orang, tapi sekarang mereka menjalani hidup masing-masing." Ia tertawa garing setelah selesaikan kalimat barusan.

Lelaki itu kemudian merangkul kedua partnernya sehingga posisi mereka bertiga kini berada di tengah ruangan. "Pertama-tama, bukankah kita harus mengambil foto?"

Yang pertama melepas rangkulan Dokyeom adalah Jeonghan. "Tidak penting."

Tidak lama setelah itu, Nana juga ikut melepas rangkulan Dokyeom. "Benar. Untuk apa berfoto?"

Hela napas singkat ke luar dari hidung Dokyeom. Sejak awal, ia sudah mengira kalau kerjasama dengan Nana dan Jeonghan adalah suatu hal yang sulit, mengingat keduanya punya sifat bertolak belakang dari Dokyeom. Namun, ia tidak menyangka kalau mereka se-kaku itu.

"Tentu saja kita harus foto agar bisa ditempelkan di brosur kita!" Dokyeom mengangkat tangannya ke udara seolah sedang mempersembahkan sesuatu. "Bukankah bagus kalau foto tiga orang hebat ini terpampang di sana?" katanya, lalu membentuk huruf 'V' dengan ibu jari dan telunjuknya.

Jeonghan dan Nana menatap aneh pada bos mereka. Lantas, dengan bersamaan pula mereka membalas, "Tidak bisa!"

[]

toktok, ada yang nungguin ga? ㅠㅠ

Btw, aku coba coba bikin trailer Lacuna, kalian bisa cek di ig aku ya, sugarluve_
Sekalian polow hyung.

𝙇𝙖𝙘𝙪𝙣𝙖 °Onde histórias criam vida. Descubra agora