O3

55 15 11
                                    

       Aku membenarkan letak kacamata yang sedikit turun sampai ke hidung, kemudian kembali fokus pada layar komputer di hadapanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


       Aku membenarkan letak kacamata yang sedikit turun sampai ke hidung, kemudian kembali fokus pada layar komputer di hadapanku. Jemariku mengetik satu per satu kalimat, tapi rasanya tidak ada yang cocok. Padahal, sejak tadi aku sudah mencoba berkali-kali, tapi selalu berujung kuhapus lagi.

Kalau ada yang bilang jadi penulis itu mudah, tinggal mengarang cerita, kalian salah besar. Kalau para penulis sepertiku ini memang menjalani hidup semudah itu, aku tidak akan pernah stress saat adegan yang berulang kali kuketik masih kurang bagus dibaca. Karena aku juga pernah merasakan susahnya naik sampai puncak, kadang kalau melihat para penulis pemula yang masih berjuang di jalan mereka, aku jadi teringat diriku dulu. Dapat apresiasi dari orang saja susah. Banyak orang yang entah kenapa enggan menghargai karyaku meski sudah dilihat.

Di samping itu, keluargaku dulu juga sempat tidak setuju waktu aku memilih jadi penulis. Mereka berharap aku jadi seorang jaksa atau semacamnya, setidaknya aku bisa kerja jadi pegawai negeri dan hidup enak. Cuma ada satu orang yang berani menentang keinginan keluargaku dan mendukungku jadi penulis. Si Lee sialan Seokmin itu, dia bahkan bilang kalau otakku kurang cocok dipakai di pekerjaan begitu. Kalau ingat, aku jadi kesal, tapi sekaligus senang.

Suara ketukan pintu terdengar pelan dari balik pintu kamarku. Pada detik selanjutnya, kepala Soobin---adik lelakiku yang usianya baru lima tahun---menyembul dari balik sana.

Aku segera pergi menghampiri Soobin dengan pandangan takjub. "Hey, kau sudah bisa membuka kenop pintu, ya?"

Soobin mengangguk gemas sambil tersenyum malu-malu. Sejujurnya, kami memang tidak terlalu dekat. Aku sibuk dengan duniaku sebagai penulis sampai waktu adikku sudah bisa membuka kenop pintu saja aku tidak sadar. Kata ibu, waktu aku kecelakaan dulu Soobin masih berusia dua tahunan, dan waktu aku bangun, kami seperti orang asing yang buat pertama kalinya berinteraksi. Setelah itu aku mulai sibuk menyusun semua teori dalam memoriku, serta merangkai itu semua jadi sebuah cerita.

"Soobin mau apa ke sini?" Aku mengelus pipi tembamnya yang agak memerah, mungkin karena kedinginan. Soalnya, ia cuma pakai kaos tipis.

"Ubin mau bersama Nuna." Setelah bicara dengan gemas begitu, tangan kirinya meraih milikku, matanya menatap polos ke arahku.

Aku tersenyum kecil, mengangkat tubuh Soobin ke atas ranjang dan memakaikan selimut pada tubuhnya. "Kau ini, sudah tau udara sedang dingin kenapa malah pakai kaos tipis? Ibu dan Nuna 'kan sudah membelikanmu sweater."

Soobin tetap diam sementara aku mengomel panjang lebar. Aneh sih, paling tidak dia harus merespon meski cuma dengan anggukan, tapi bocah itu malah cuma menatapku dengan pandangan yang sulit terbaca. Maka aku tidak punya pilihan lain selain coba bertanya, "Soobin kenapa? Apa ada sesuatu di wajah Nuna?"

Bibir mungilnya tergerak menjawab pertanyaanku, "Nuna kemarin kenapa meninggalkan Ubin sendirian di taman bermain?" Ia lalu menunduk.

Kedua alisku nyaris menaut, aku rasa bahkan muncul kerutan samar di dahiku. Habisnya, sejak kapan aku menemani Soobin ke taman bermain? Apalagi kemarin, aku harusnya sibuk merevisi naskah untuk novelku. Aku ingat betul kalau seharian tidak sempat ke luar kamar. Bahkan buat makan saja, aku tidak sempat. "Maksudmu apa, Soobinie?"

Soobin menengadahkan wajahnya lagi, menatapku. Bibirnya dimajukan beberapa senti waktu bicara, "Kemarin Ubin bermain di taman bermain dengan teman-teman, lalu Nuna datang. Aku padahal sudah memanggil dan menghampiri Nuna ...," wajah bocah itu berubah makin sedih waktu kalimatnya dijeda, "tapi Nuna malah pergi begitu saja dan menatap Ubin dengan seram."

Aku mengernyit heran, siapa yang Soobin temui waktu itu?

"Seokmin-a."

Yang dipanggil menolehkan kepalanya padaku. Ponsel yang semula jadi pusat atensinya, kini ia letakkan di meja. "Ada apa?"

Aku menopang dagu. "Apa kemarin kau datang?"

"Datang ke rumah, maksudmu?"

Aku mengangguk. "Iya, apa kemarin kau datang ke rumahku?"

Seokmin ikut mengangguk. "Iya, kemarin aku datang, tapi kau tidak ke luar kamar. Akhirnya aku pulang lagi. Padahal aku bawa camilan kesukaanmu."

Keningku mengerut samar. Jadi kemarin aku benar-benar di dalam kamar seharian 'kan? Lalu kenapa Soobin bilang melihatku di taman bermain?

"Hey, malah melamun. Kau kenapa, sih?" Seokmin menjentikkan jarinya di depan wajahku, menyadarkanku dari segala pemikiran aneh yang bercokol di otak.

Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, aku cuma kelelahan."

Sebenarnya, aku bukan mau berbohong pada Seokmin. Hanya saja, kalau aku cerita apa yang Soobin ceritakan padaku waktu itu, aku takut dia tidak percaya. Lagipula kasus ini juga sulit dijelaskan dengan logika. Daripada si muka kuda itu mengatai aku gila, lebih baik aku simpan cerita ini.

"Kalau kelelahan, kita pulang saja sekarang. Kau harus istirahat."

Setelah membalas ucapan Seokmin dengan anggukan, aku mengikuti lelaki itu berdiri dari duduk. Tadinya, kami memang sedang ada di kafe dekat rumah. Niatku cuma ingin jalan-jalan sebentar, cari udara segar. Sekaligus menghabiskan waktu dengan Seokmin. Belakangan, aku jarang sekali bisa bersama dengannya. Sebab, terlalu sibuk dengan proyek novelku.

Waktu sampai di perempatan jalan dekat kafe, mataku menangkap sesuatu di seberang jalan. Aku menajamkan mataku, memeriksa sekali lagi objek yang sedari tadi kulihat. Tidak salah lagi. Mataku masih sehat dan normal, masih bisa mengenali suatu objek. Sementara yang sedang kulihat sekarang adalah seorang gadis dengan tubuh sepertiku, rambut sepertiku, dan wajah sepertiku.

Entah kenapa, rasanya seperti dejavu. Kakiku refleks menghampiri presensi gadis itu, menyeberangi jalan tanpa memperhatikan kanan kiri. Telingaku menangkap suara klakson mobil dan motor, juga suara Seokmin yang berteriak memanggil-manggil namaku.

Gadis itu berbalik. Mata kami sempat bersirobok selama beberapa saat. Dalam waktu kurang dari lima sekon setelah aku sadar kalau sedang berada di tengah jalan raya, sebuah truk melaju dengan kencang ke arahku. Bagaikan slow motion, truk itu semakin dekat. Aku menutup mata, bersiap dihantam begitu saja oleh truk itu.

Namun, sebelum truk itu sukses menyentuh badanku, kepalaku sudah lebih dulu terasa pening bukan main. Truk itu tidak sampai menabrak tubuhku, tapi aku justru limbung begitu saja di depan truk itu.

Aroma citrus mengetuk-ngetuk penciumanku. Samar-samar, telingaku bahkan bisa mendengar suara ribut dari orang-orang. Perlahan, kelopak mataku terbuka, menangkap cahaya sedikit demi sedikit.

"Aster? Kau sudah sadar, Nak?"

Aku mengernyit begitu seorang wanita paruh baya menatapku cemas. Tapi bibi itu siapa? Kenapa dia memanggilku Aster?

Tidak lama setelah itu, orang-orang berjubah putih datang. Mereka memeriksa tubuhku, menanyai pertanyaan yang pernah kudengar saat baru siuman dari koma dulu.

Tapi yang paling aneh adalah, kenapa aku ada di sini?

[]

𝙇𝙖𝙘𝙪𝙣𝙖 °Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang