O5

38 15 2
                                    

        Aku meletakkan dompet dan ponsel milikku ke dalam laci. Ini berguna supaya mamanya Aster tidak bertanya macam-macam lagi soal dompet dan ponsel itu. Bagaimana pun, di dalam dompetku ada identitas Han Serim. Untung saja, waktu benda itu ditemukan kemarin, Nyonya Jung tidak sempat melihat isinya.

Omong-omong, akhirnya aku ke luar dari rumah sakit setelah genap dua minggu dirawat. Meski tubuhku sudah bisa dikatakan sehat, tapi dokter menyarankan agar aku libur dari pekerjaan sebagai publik figur untuk beberapa waktu. Sebab, aku juga masih dalam masa pemulihan.

Jadi, waktu yang ada selama aku libur ini akan kugunakan buat mencari tahu sebisanya tentang bagaimana cara ke luar dari tempat ini.

Otakku mulai memikirkan berbagai macam teori sebelum menyadari sesuatu. Saat seorang penulis mulai menulis ceritanya, maka ia harus terlebih dahulu mengenal dan memahami tokoh-tokoh di sana. Kalau aku berada dalam novel Lacuna, maka aku juga harus memahami Jung Aster dan yang lainnya.

Aku meraih ponsel milik Aster, lantas membuka mesin pencarian dan mengetikkan namanya di sana. Ada banyak artikel yang muncul, tapi rata-rata hanya menyebutkan identitas Aster yang sama dengan ingatanku, serta kesuksesannya. Bagaimana pun, bukankah harusnya ada satu yang aneh? Kenapa mereka menulis artikel sebagus ini? Apa reputasi Aster memang tidak terkalahkan?

Jika gadis itu sungguh hidup di dunia seperti itu, bukankah seharusnya ia menjalani hidup dengan normal?

Waktu aku sibuk memikirkan berbagai spekulasi lagi, suara ketukan pintu malah terdengar pelan dari luar. Pada detik selanjutnya, Nyonya Jung masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas air putih.

"Mama khawatir kau kehausan waktu malam, jadi Mama bawakan ini," katanya sembari meletakkan gelas tadi di atas nakas.

Aku tersenyum tipis. Kendati ia adalah mamanya Aster, tapi bagiku dia tidak beda dengan orang asing. Kami memang sudah cukup lama berinteraksi, tapi bagiku masih agak canggung kalau harus berhadapan dengan Nyonya Jung.

Nyonya Jung mengelus pipi sebelah kiriku. "Aster, kau tahu 'kan, betapa pentingnya kau dan aktingmu untuk Mama?" katanya halus, tapi anehnya terdengar seperti menekankan sesuatu.

Aku yang tidak tahu apa-apa soal ini jadi secara refleks mengerutkan kening dan keluarkan sinyal bingung. "Ya?"

Begitu mendengar responsku, Nyonya Jung langsung menampakkan wajah tidak suka. "Apa maksudmu dengan 'ya?', apa kau tidak paham ucapan Mama?"

Astaga, aku memang tidak memahami ucapan wanita tua itu. Namun, sepertinya kalau aku berkata dengan jujur, aku malah akan terjerumus ke dalam jurang tidak berkesudahan setelah ini. Aku baru bertanya saja ia sudah tunjukkan respon tidak suka.

Jadi, yang bisa kulakukan pada detik selanjutnya adalah mengangguk-angguk sok tahu sambil bilang, "Ah, aku mengerti. Aku akan berusaha sebaiknya agar bisa cepat kembali akting. Juga maafkan aku karena menyebabkan kekacauan kemarin."

Nyonya Jung tersenyum sampai matanya tenggelam. Kelihatan tulus, sih. Tapi kenapa kesannya juga seram? Apa aku cuma merasa terintimidasi karena ia orang asing? Sialan, aku harus cepat terbiasa dengan situasi ini kalau mau cepat ke luar tanpa ketahuan dari dunia ini.

"Kalau begitu, istirahatlah. Besok Mama ada perjalanan bisnis pagi-pagi sekali, jadi jangan bertingkah aneh-aneh selagi Mama pergi," katanya, lantas pergi ke luar kamar.

Aku menghela napas lega. Yang tadi itu benaran menegangkan.

Jangan bertingkah aneh apanya. Kalau Nyonya Jung pergi, bukankah itu kesempatan emas bagiku untuk ke luar dan mengenali dunia ini? Apa lagi, aku juga harus mencari tahu identitas Jung Aster yang sebenarnya. Kenapa ia punya citra yang begitu baik, padahal di novelku, ia bertingkah seperti psikopat?

𝙇𝙖𝙘𝙪𝙣𝙖 °Donde viven las historias. Descúbrelo ahora