O7

63 13 0
                                    


       "Aku Han Serim."

Dokyeom membolak-balik dokumen yang semula diminta Serim. Di sana jelas tertulis bahwa Han Serim adalah nama Jung Aster sebelum diadopsi. "Astaga, bisa gila aku," gumamnya lirih.

"Bisakah kau jelaskan lebih dulu, apa maksud dari semua ini?" Nana buka suara, gadis itu menatap tajam Serim yang kini duduk di hadapan mereka bertiga.

"Aku tidak bisa menjelaskan secara detail. Kalian pasti tidak percaya dan akan menganggapku sebagai orang gila," jawab gadis itu. "Sebagai gantinya, tolong jangan pandang aku sebagai Jung Aster, tapi Han Serim. Anggap saja kami dua orang yang berbeda. Aku akan membayar kalian untuk penyelidikan setelah ini."

Dokyeom menegakkan punggungnya. "Penyelidikan lagi? Apa kali ini kami juga harus menyelidikimu---ah, maksudku Jung Aster?"

Serim mengangguk. "Iya. Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi tolong jangan tanyakan apa pun, aku benaran tidak bisa menjelaskannya pada kalian." Serim meremas jemarinya sendiri, merasa frustasi sebab kalau dilihat dari sudut pandang orang normal, ia memang aneh karena mencoba menggali informasi tentang dirinya sendiri. Kendati kenyataannya, Serim cuma ingin tahu, orang seperti apa si pemilik identitasnya di sini?

Dokyeom membuka mulutnya, baru ingin bicara, tapi lebih dulu dipotong oleh Nana. "Maaf, kalau informannya tidak jelas, kami juga tidak bisa membantu."

Si marga Han panik. "Aku akan memberi berapa pun yang kalian mau," tawarnya was-was. "Tolong bantu aku ...."

"Apa? Apa sekarang kau menyuap kami?" ujar Nana ketus.

Namun, mendengar Serim yang bersedia memberikan uang berapa pun, tentu saja Dokyeom jadi tergiur. Lelaki itu segera menahan Nana yang hendak protes lagi. "Hei, kita berunding dulu, jangan langsung diputuskan," bisiknya pada Nana. Dokyeom lantas tersenyum pada Serim. "Tunggu sebentar, kami akan berdiskusi dan segera kembali," katanya, lantas menyeret Nana dan Jeonghan ke ruangan lain.

Setelah pintu ruangan itu ditutup, Dokyeom segera menghadap kedua rekannya. "Hei, kenapa kau menolak dengan begitu mudah? Coba kau pikirkan, bukankah kita butuh uang? Katamu kau ingin pamer pada mantan, maka bukankah kau harus kaya, huh?"

Nana memutar mata malas. "Kau gila? Dia itu aneh, tahu. Untuk apa mencari informasi tentang diri sendiri? Apa ia hilang ingatan atau bagaimana, sih?!"

Jeonghan yang sedari tadi diam, mendadak membalas, "Ah, aku dengar ia kecelakaan beberapa hari lalu."

Dokyeom menatap Jeonghan. "Wah, serius?" tanyanya, lantas membalikkan atensi pada Nana. "Kau dengar itu? Bisa saja dia benaran amnesia. Bayangkan saja, dia 'kan artis, tentu saja ia harus menjaga citranya, jadi ia harus mengingat dirinya sendiri agar bisa menutupi hal-hal yang tidak sempurna, bukan?"

Nana menghela napas. "Ah, tidak tahu, lah! Aku benaran kehabisan kata-kata menghadapi orang mata duitan sepertimu!"

Dokyeom mendesis. Ia kemudian menatap Jeonghan. "Kau setuju untuk tetap menjadikannya klien 'kan?"

Yang ditanya mengangguk. "Iya."

Senyuman cerah terbit di wajah milik si pemuda Lee. Tangannya kemudian dirangkulkan pada kedua rekannya. "Kerja bagus, kawan. Mari kita keluar dan menjemput sumber uang!"

Aku menatap lekat-lekat penjuru kamar milik Aster. Sudah lama aku di sini, tapi belum juga terpikirkan untuk mencari petunjuk dari tempat terdekatnya---kamar. Pokoknya, malam ini aku harus menemukan petunjuk baru. Lagi pula, aku tidak bisa memerankan Aster dengan sempurna kalau tidak tahu seluk beluknya.

Tadi siang, orang-orang di agensi detektif itu sudah setuju untuk membantuku. Sejujurnya memang masih agak canggung kalau harus meminta mereka untuk menyelidiki Jung Aster. Tapi aku kehabisan ide soal harus meminta tolong ke siapa lagi. Agensi detektif serupa mungkin memang banyak, tapi entah kenapa aku cuma ingin meminta tolong pada mereka. Mungkin karena di sana ada seseorang dengan wajah sama seperti Seokmin dan Kak Nana, tanpa sadar aku ingin di dekat mereka.

Aku merogoh laci nakas, berharap dapat menemukan satu atau dua barang yang akan membantuku mengetahui orang seperti apa Jung Aster itu. Tapi sialan sekali, kenapa tidak ada satu pun barang berarti yang kutemukan?

Saat tanganku sudah mulai menyerah mencari, mataku justru menangkap sesuatu di bawah kolong kasur. Aku menutup laci nakas, beralih merundukkan badan menghadap kolong. Gumpalan kertas yang diremas-remas, tapi kenapa ada di kolong kasur? Apa Aster belum sempat membuangnya?

Kubuka gumpalan kertas itu. "Apa ini ...?" Tanganku refleks membekap mulut sebab kaget. Kertas itu berisi gambar simbol pita yang terlihat familiar sekali. Aku ingat, aku membuat gambar itu sebagai tanda pada tiap korban pembunuhan berantai yang berkaitan dengan Jung Aster di dalam Lacuna. Tapi bagaimana bisa gambar itu benaran ada? Selain itu, apakah ini gambar milik Jung Aster?

Aku buru-buru mengambil ponsel, memotret gambar itu dan mengirimkannya pada Dokyeom. Jemariku menekan tombol panggilan ke nomor Dokyeom agar bisa membicarakan lebih lanjut mengenai tugas mereka.

"Halo?" yang di sana menyapa.

Sesaat, aku sempat tertegun sebab suara Dokyeom benaran mengingatkanku pada Seokmin. Namun, sebisa mungkin aku menetralkan pikiranku. Hey, Han Serim, kau harus fokus pada tujuanmu saat ini. "Kau lihat gambar yang kukirim?" tanyaku.

"Iya, ada apa dengan itu?"

"Coba carikan kasus-kasus pembunuhan atau semacamnya yang berkaitan dengan pola dalam gambar itu. Aku akan mengirim uangnya besok. Tolong temukan secepatnya."

Terdengar nada bingung dari suara Dokyeom saat ia merespon lagi, "Apa? Tapi kenapa tiba-tiba kasus pembunuhan?"

Aku menghela napas. Bagaimana caranya aku menjelaskan pada mereka? Sedangkan aku juga kebingungan dengan kondisi yang melandaku saat ini. "Aku tidak bisa menjelaskannya. Tolong carikan. Besok kita bicara lagi setelah kau menemukannya."

"Astaga, akhirnya bisa pulang. Punggungku lelah sekali karena duduk seharian." Nana meraih tas selempangnya, bersiap untuk keluar dari ruang kerja.

"Hei, kau tidak pulang?" ia lantingkan tanya pada Jeonghan saat melihat lelaki itu masih diam di tempat duduknya, sambil menatap layar komputer.

Jeonghan mendongak, menatap Nana hingga manik mereka bersirobok, sebabkan si gadis jadi tertegun sebab menyadari sesuatu. "Duluan saja," jawab lelaki itu, singkat.

"A-ah ... oke." Nana tersenyum canggung. Gadis itu meraih gagang pintu saat pintu itu justru terbuka lebih dulu dari luar, disusul presensi Dokyeom yang tampak kesal.

"Mau ke mana kau?" tanyanya pada Nana.

"Apa maksudmu? Ini 'kan sudah jam pulang kerja, tentu saja aku mau pulang."

Dokyeom menggeleng cepat. "Tidak tidak, tidak ada yang boleh pulang sebelum menemukan ini." Tangannya menyodorkan ponsel dengan gambar dari Serim terpampang di sana. "Temukan kasus pembunuhan dan semacamnya yang memakai atau berkaitan dengan simbol ini."

Nana melotot. "Apa? Pembunuhan? Kenapa mendadak jadi pembunuhan? Lagi pula, kenapa tidak besok saja? Ini namanya eksploitasi tenaga kerja, tahu?"

Dokyeom mendorong tubuh Nana kembali ke depan meja kerjanya. "Jangan protes padaku, ini perintah sumber uang kita," katanya. "Sudah! Cepat cari saja!"

Decihan sebal keluar dari mulut Nana. Namun, gadis itu tetap mengambil ponsel dari tangan Dokyeom untuk melihat gambarnya lebih detail. "Sudah kuduga tidak ada yang beres kalau berurusan dengan gadis itu," gerutunya. Ia hendak mengomel lagi, tapi terhenti ketika melihat gambar itu. "Oh? Ini ...."

Jeonghan yang baru datang melihat juga refleks terdiam. Diam-diam, lelaki itu mencengkeram ujung meja dengan kuat.

"Ada apa? Kenapa kalian berdua diam?"

Nana menatap Dokyeom lekat-lekat. "Asal kau tahu, kasus ini yang membuatku didepak dari kepolisian!"

[]

Astaga akhirnya bisa balik ke sini ㅠㅠ

𝙇𝙖𝙘𝙪𝙣𝙖 °Where stories live. Discover now