02.00

1.1M 114K 12.3K
                                    

Selamat membaca vren.

"Jangan pernah menjadi Bulan, untuk seseorang yang membenci malam."

•••

"Bi, papa dan dua peliharaannya kemana ya?" tanya Kara setelah selesai mandi malam dan turun mengecek keadaan di bawah.

"Oh, anu Non tadi setelah Non Nilam pulang dari sekolah, Pak Erik dan Bu Sonya langsung ngajak dia pergi jalan, tapi Bibi gak tau kemana, gak Bibi tanyain juga, takut soalnya," jelas Sumi, asisten rumah tangga di rumah mereka.

"Oh gitu, ok makasih, Bi!" Gadis itu beranjak kembali naik ke lantai dua, namun langkahnya terhenti.

"Oh iya, nanti kalau Bibi udah selesai kerjanya jangan lupa cek ulang pintu dan jendela ya, Bi."

"Iya siap, Non."

"Oke, selamat malam, Bi. Selamat beristirahat."

"Iya, selamat beristirahat juga, Non."

Kara berjalan masuk ke dalam kamar yang selama ini ia tempati setelah kedatangan dua peliharaan Erik.

Ia harus merelakan kamar pribadinya diambil oleh seorang Nilam.

"Bangun, sialan!" Kara menarik kaki Nilam lalu menyeretnya turun dari atas kasur.

"Lo apa-apaan sih?!" tanya Nilam yang kesal karena baru saja di jatuhkan ke lantai.

"Ngapain lo tidur di kamar gue? Siapa yang ngijinin lo masuk ke sini?" bentak Kara, mata gadis itu menatap tajam mata saudari tirinya itu.

Nilam merotasikan bola matanya lalu berdiri dari lantai, ia sekilas mengedarkan pandangannya ke tiap sudut ruangan itu sebelum akhirnya kembali menatap Kara.

"Kamar ini sekarang bukan cuma punya lo doang, tapi punya gue juga."

Kara menendang nakas yang berada di sebelahnya.
"Lo keluar dari kamar gue sekarang!" perintahnya ia kemudian berjalan ke arah lemari lalu membukanya.

Rahang gadis itu mengeras melihat semua bajunya tersisihkan dan diambil alih oleh semua baju Nilam, dengan segera ia mengambil baju-baju yang mengambil ruang untuk pakaiannya itu, lalu melemparnya ke lantai.

"Gila yah! Nggak sampai tiga hari gue nggak ada di rumah, tapi barang-barang lo udah gantiin semua barang-barang gue di kamar ini."

Nilam menatap tak percaya ke arah Kara yang membuang bajunya seperti membuang sampah.

Nilam mendorong bahu Kara keras.
"Lo gila! Ini baju-baju gue!"

"Papa udah ngasih kamar ini buat gue! Kalau lo nggak percaya lo bisa tanya langsung ke papa," lanjut gadis itu.

Kara menunduk, menatap pundaknya yang baru saja didorong Nilam.

"Papa? Hh."

Ekspresi wajah gadis itu berubah menjadi datar, ia berjalan ke arah meja belajar lalu mengambil pilox hitam yang entah ia dapat dari mana.

"Mau bokap gue kasih atau nggak, kamar ini tetap milik gue! Sendiri!" Dengan gerakan cepat Kara menyemprotkan pilox hitam itu ke semua baju milik Nilam yang tergeletak di lantai.

"AAA- BAJU GUEEEE!" teriak Nilam saat baju-baju miliknya kotor terkena noda hitam yang Kara semprotkan.

"LO BENER-BENER GAK WARAS YAH?!" Teriakan Nilam membuat Aslan, Erik, dan Sonya datang bersamaan ke dalam kamar tersebut.

"Apa-apaan ini?" tanya Erik saat masuk ke dalam ruangan mencium bau menyengat dan melihat noda hitam di mana-mana.

Kara membalikkan badannya dan berhadapan langsung dengan Erik. Bukannya menjawab, Kara malah balik bertanya ke cowok itu.

"Kenapa papa mindahin dia ke kamar Kara?" tanya gadis itu.

"Bukannya dia juga udah punya kamar sendiri di rumah ini? Kenapa dia harus sekamar sama Kara?" lanjutnya tak terima.

Nilam memasang raut sedih di wajahnya, gadis itu segera memeluk lengan Sonya yang berdiri di sebelah Erik.

"Mah, Pah, kamar tamu itu kecil Nilam nggak suka di sana, Nilam lebih suka di sini," ucap gadis itu manja dan langsung mendapat tatapan jijik dari Kara.

Erik yang bersedekap dada terlihat menghela napas panjang.

"Kara," panggil Erik.

"Kamu sebagai kakak harusnya bisa berbagi kamar dengan adik kamu. Kaliankan juga sama-sama perempuan, harusnya kalian itu bisa akur." Ucapan Erik yang seharusnya menjadi penengah bagi keduanya malah membuat emosi Kara semakin naik hingga ke ubun-ubun.

"Setelah ngebuat kita satu atap, sekarang Papa mau ngebuat kita satu kamar?" Gadis itu menatap Erik tak percaya.

"Kenapa sih, Pa? Kenapa apa yang Kara tidak suka malah itu yang selalu Papa lakuin?" tanya gadis itu cepat. Sementara Erik hanya terdiam sambil menatap mata putrinya itu.

"Papa kira Kara bakalan seneng? Iya gitu?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Nggak, Pa. Kara nggak seneng." Mata gadis itu mulai berair.

"Papa selalu ngelakuin semuanya sendirian tanpa meminta persetujuan atau bahkan sekedar meminta pendapat keluarga papa yang dulu."

"Papa selalu meminta persetujuan dan pendapat setelah selesai berbuat, yang artinya mau bagaimana pun pendapat Kara, mau Kara setuju atau tidak itu semua percuma! karena semua akan kembali berjalan sesuai keinginan Papa sendiri!" Intonasi gadis itu meningkat di akhir kalimatnya, ia sudah tak dapat membendung air matanya lagi.

Gadis itu meluapkan emosinya dengan melempar botol pilox yang sedari tadi ia pegang ke dinding di sebelahnya membuat Nilam dan Sonya terpekik kaget.

"Lo maukan kamar gue?" todongnya ke Nilam.

"Ambil!" tandasnya lalu berjalan keluar kamar meninggalkan ruangan itu.

Aslan yang sedari tadi berdiam diri menonton kejadian itu sambil menyandarkan punggungnya ke tembok pun ikut berjalan keluar mengikuti Kara.

Langkah cowok itu terhenti saat sampai di depan pintu kamar. Ia melirik ke beberapa pekerja dirumahnya yang ada di sana dan menguping pertengkaran tadi.

"Bawa barang-barang Kara ke kamar saya."

tbc.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang