44. What Kind Of Future

147 17 13
                                    

Angin bertiup dan saling berhembus ke sana kemari. Menerbangkan surai panjangnya yang sudah berantakan. Walau begitu senyumnya tetap terukir selama memandangi rumah-rumah kecil dipengelihatannya, Jira menikmati hamparan bangunan yang belum tertutup gedung-gedung tinggi seperti di Seoul.

Dia dan kedua orang tua angkatnya memang tinggal di kawasan Busan terpencil. Belum kota, sehingga udara di sini masih terasa bersih. Jira sangat menyukai udara di pagi hari. Tangannya bermain-main dengan bandul yang melingkar indah di lehernya. Sangat pas dan dia menyukainya.

Kapan dia bisa bertemu dengan kekasihnya itu? Bagaimana dia harus memanggilnya? Bagaimana rupa aslinya? Apa suaranya seindah lagu-lagunya? Apa dia seromantis saat di telepon atau secuek yang eomma katakan? Jira penasaran dan dihari ulang tahunnya ini, Jira makin dilanda rasa ingin tau yang besar.

"Jira noona." Panggil seseorang. Jira berhenti menyentuh badul kalungnya dari hadiah yang tertumpuk di kamar itu. Mencari keberadaan seseorang yang memanggilnya, lalu memberikannya lambaian tangan.

"Sepertinya ada yang lagi bahagia. Ada yang ingat hari ulang tahunnya ya?"

"Bagaimana kau tau? Aku saja baru mengetahuinya semalam." Seru Jira. Terdengar antusias.

"Apa yang tidak ku ketahui tentangmu." Bangganya.

"Kebiasaan. Jangan tersenyum dengan seringai menyeramkam itu. Orang-orang akan menganggapmu orang jahat jika tersenyum seperti itu." Ceramahi Jira.

"Yang penting kau tidak takut padaku." Godanya. Jira memutar bola matanya. Gombalan receh dari anak kecil terasa aneh untuknya.

Mendapati gombalannya diabaikan lagi, pria itu segera mencari cara lain untuk menarik perhatian Jira. Dia memampangkan buket bunga yang agak berantakan itu di depan wajah Jira. Mawar merah pekat pun menggantikan pemandangan matanya.

"Selamat ulang tahun. Aku menyukai noona, apa noona sudah bisa menyukaiku juga?"

Jira tersenyum. Dia menerima bunga tersebut. Melihatnya sebentar. Lalu menghembuskan napas. Setelah itu meletakkan buket bunga yang dia tebak buatan tangan sendiri dengan bunga yang dia ambil dari tetangga pria itu.

"Gomawo. Tapi jawabanku tetap sama. Mianhae." Singkat Jira.

"Wae? Apa aku masih kurang sesuai dengan tipe noona? Aku selalu menunggu noona. Aku mau buat noona jatuh cinta denganku. Aku tidak masalah jika harus menunggu lebih lama lagi. Tapi berikan aku jawaban yang pasti." Katanya. Terdengar seperti paksaan.

Jira melirik ke arah pria itu. Lalu melihat ke arah karangan mawar merah itu. Makna mawar merah yang terkesan romantis dan melambangkan cinta sejati itu, jadi terasa berbeda jika dia yang memberikannya. Seakan mawar merah ini hanya bentuk keegoisan dan hasrat untuk memiliki.

"Apa kau masih mau mencari tahu pria yang ada dimimpimu itu? Pria yang tidak jelas dari bunga tidurmu?"

Seketika Jira memandangnya dengan tatapan yang sulit dia artikan. Layaknya tatapan tidak suka atau tepatnya ilfil.

"Dia bukan hanya bunga tidur. Dia nyata dan sedang menungguku. Aku tidak tau apa saja yang terjadi sampai aku tidak mengingat apa-apa. Tapi, aku ingin menunggunya juga seperti yang dia lakukan saat ini. Jauh di sana. Tidak tau sedang melakukan apa dan memikirkan siapa. Aku juga ingin, dia tau jika aku sedang terbayang-bayang akan sosoknya."

Jira menyentuh kalungnya lagi. "Melodiku." Gumam Jira.

"Aku ingin tau, bagaimana bentuk melodiku itu. Karena itu, aku tidak bisa menerimamu. Hatiku sudah dipenuhi oleh orang yang terlupakan olehku tapi tidak pernah hilang dari diriku. Aku menyukainya, lebih dari bagaimana cara pikirku terhadapnya. Jadi, aku harap kau bisa mencari wanita lain. Aku yakin akan ada yang menyukaimu."

MelodyWhere stories live. Discover now